Minggu, 03 Desember 2017

Dialog Dengan Rembulan

Malam ini langit ikut menyenangkan karena purnama. Sebenarnya tadi aku hampir mencuri warnanya. Ingin ku simpan, untuk nantinya ku serahkan kepada pujaan. Sesaat aku akan mengambilnya, bulan malah bertanya mau ku apa.
Ku jawab saja
"Aku ingin memberikan binarmu untuk kekasihku"

Bintang disekitarnya sempat heran melihat kebodohan lelaki gila yang berpikir dapat mencuri pesona purnama.
Rembulan yang tertarik oleh jawabanku, bertanya lagi "Kenapa kau mau melakukan ini?" 
Aku bingung ditanya mengapa, jadi ku jawab saja seadanya "Sesungguhnya akupun tak tau ini untuk apa, tapi inginku hanya agar kekasihku bahagia"

Bulan dan bintang lalu tertawa bersama, aku jadi heran gelak tawa ini karena apa.

Membaca kebingunganku, rembulan berkata "Kalau kau pikir dengan memberikan binarku dia akan bahagia? Kau salah anak muda. Coba lihat kekasihmu itu dari sini, bukankah dirinya jauh lebih bercahaya dari pada apa yang kami punya?"

Minggu, 29 Oktober 2017

Kota Tua Bisu


Tidak ada sesuatu yang datang dengan kebetulan, begitu yang selalu kau katakan. Akupun percaya itu. Semua perjalanan sudah tertulis, kita hanya perlu percaya bahwa segalanya akan selalu menjadi indah. Persis dengan kisahku dulu bersama wanita dengan kuncir kuda, pendiam, terkesan jutek namun tidak masalah, karena waktu dulu aku mencintainya. Wanita yang kini menjadi kenangan disudut ruang perasaanku. Sebut saja dia Aila.

“Hai jutek, nanti jadi ya, ku tunggu di halte jam 1” tulisku lewat pesan singkat kepada kekasihku Aila,

Hari ini kita janjian untuk ngedate perdana. Aila merupakan pacar pertamaku. Menurutku Aila merupakan sosok wanita sangat baik. Alasannya sederhana, yaitu karena hanya dia yang mau kepadaku waktu itu. Padahal aku hanyalah pria dengan tingkat ketampanan rata-rata sekaligus nilai raport yang banyak merahnya.

“Iya sebentar lagi aku jalan” jawabnya setelah 10 menit ku kirim sms.

Mendapat sms mengatakan Aila ingin jalan malah membuatku sakit perut, mungkin semacam nervous. Ini adalah hal baru sekaligus merupakan yang pertama. Menyedihkan jika aku gagal dalam ngedate pertamaku karena diare. Selain jadi tidak keren, aku juga tidak mau kalau harus ngedate ke toilet umum.

Aku berusaha tak pedulikan sakit perutku dengan mengantongi batu dan bergegas berangkat ke halte transjakarta. Waktu itu pukul 12.18 wib, kemungkinan aku akan sampai duluan dari pada Aila. Aku gas motorku membelah angin yang berhembus dengan perasaan bahagia di hatiku.

Benar saja, ternyata aku sampai lebih dahulu. Aku perhatikan, halte di stasiun Transjakarta terlihat bersih, tidak ada sampah yang berserakkan, bahkan lantainya pun tidak terlihat kotor. Ditengah kesibukanku memperhatikan sekitar, tiba-tiba ada seseorang pria dengan tubuh kurus dan berbaju biru tersenyum kemudian menyapa ku

“Siang mas” ucapnya

“Eh iya mas, masih belum malam” Jawabku sambil becanda lalu kita berdua tertawa.

Setelah menyapa mas-mas karyawan transjakarta yang ramah itu, aku duduk di bangku yang telah di siapkan.

Menunggu ternyata membuatku melupakan tentang sakit perutku, bahkan pikiranku melayang pada adegan random yang tidak jelas seperti jika nanti aku ditampar, atau ditinggalkan, lalu putus. Aku bingung pada diriku sendiri, padahal menghayal itu bertujuan untuk menyenangkan diri sendiri. Tapi mengapa malah aku berkhayal jelek tentang diriku nanti. Selain itu, sebenarnya aku juga bisa membayangkan sesuatu yang meneyanangkan seperti jika wajah pacarku berubah menjadi seperti Raisa, Isyanya atau wanita yang namanya berakhiran “A” lainnya.

“Heh bengong aja” ucap wanita berkuncir kuda yang ku hafal baik suaranya.

Sial, aku tersihir oleh lamunanku sendiri. Tanpa sadar Aila sudah sampai dan ada disampingku, sejujurnya tidak hanya Aila yang sampai. Saat itu sampai pula diriku kepada moment tercanggung, kata-kata seakan susah untuk keluar lidahku pun seakan kelu. Dasar pria lemah.

Untuk kedua kalinya aku bilang ini adalah ngedate pertamaku, dan tempat yang ku pilih untuk menghabiskan waktu berlama-lama berdua adalah kota tua dibilangan Jakarta pusat. Entah apa yang ku pikirkan, tapi sepertinya waktu itu hanya kota tua yang ku tau tempatnya. Mungkin selain ingin menghabiskan waktu berdua akupun ingin sekalian mengenang jasa para pahlawan yang telah mencurahkan djiwa dan raganya untuk NKRI, demi merdekanya Indonesia Raya tercinta. Sebelum menjadikan cerita ini sebagai kisah perjuangan, lebih baik ku kembalikan kepada waktu perjalanan ku ke kota tua

“hehehehehehe” hanya cengegesan, mungkin itu hal terbaik yang bisa ku berikan. Mulutku seakan bungkam saat bersama Aila. Ia pun hanya memilih diam, tapi Aila memanglah seorang yang pendiam, berbeda denganku yang biasanya banyak omong kepada siapa saja. Ibu-ibu kantin, satpam sekolah, bahkan tadi juga sempat bercanda dengan penjaga transjakarta. Sesuatu yang aku yakini sampai sekarang ialah saat itu aku dirasuki setan bisu. Ya  semua hal dapat terjadi bukan?

Perjalananku ke kota tua dapat terbilang sangat menyenangkan, aku berdiri dari stasiun ragunan hingga kota tua. Ku kira saat weekend tidak akan seramai ini, tapi entah hari itu ada apa. Lagi pula tak hanya masalah berdiri, selama perjalanan pun aku hanya bisa sekedar menatap mata Aila dan tetap diam karena tidak tau ingin berbicara apa. Menyenangkan bukan? Menurutku waktu itu. Ya. Itu sangat menyenangkan, aku dapat memandang wajah kekasihku berlama-lama, menikmati tiap pesonanya dan merasakan betapa beruntungnya aku memiliki dirinya. Tapi jika aku mengingat hal itu lagi, aku tak heran mengapa betisku menjadi seperti sekarang.

Hanya butuh satu jam untuk sampai ke kota tua. Pemandangan bangunan klasik jaman pemerintahan Belanda sangatlah mengesankan. Batu besar berbentuk bola di tempatkan di pinggir jalan raya. Trotoar untuk para pejalan kaki dibuat dengan batu yang berbeda daripada di jalanan biasanya, aku tidak tahu bahannya apa, bukan tukang batu soalnya. Lalu di sepanjang jalanpun berbagai pedagang juga ikut tersusun rapi. Mulai dari tukang tattoo, makanan, jasa ramal taroot sampai penjual makanan yang berattoo dan meramal taroot, semua ada.

Sesampainya disana hal yang ku lakukan adalah “bingung” itupun masih tetap dalam keadaan diam. Pertama aku bingung harus kemana atau melakukan apa, kedua aku tetap diam karena akupun masih belum tau harus berbicara apa. Disana aku hanya mengandalkan instingku sebagai pria untuk melakukan hal yang menarik. Hal yang paling menarik yang ku pilih waktu itu ialah duduk di dekat senjata meriam depan museum Fatahilah.

“mau kemana?” tanyaku mencoba membuka percakapan

“terserah” jawabnya menyelesaikan percakapan

Jawaban bagus dari Aila membuatku semakin tak karuan, bingung mau melakukan apa, untung saja hpku sedang tidak ada pulsa, mungkin jika ada aku hanya memilih smsan dengan Aila waktu itu.

Waktu terus berjalan dan sepatah katapun tetap tak ada yang keluar. Tetapi aku menikmatinya, dan aku harap Aila juga menikmatinya. Dalam diam aku mengetahui banyak hal. Tentang Aila yang selalu memberikan anak kecil senyuman, tentang Aila dan kulitnya yang menjadi merah ketika terkena panas, atau ketika dirinya menatapku, aku tersadar bahwa aku selalu jatuh cinta dengan tatap itu.

 

Aku masih tetap diam, dan Aila pun sama. Tanpa kata-kata kita terus berjalan sampai akhirnya kita masuk ke museum wayang kulit. Di dalam terlihat banyak wayang yang tersusun rapih. Hampir semua aku mengenali tokohnya, persis dengan yang diceritakan oleh kakek ku. Saat sedang melihat-lihat, aku dan Aila sampai kepada tokoh wayang yang bernama Drupadi, istri dari para pandawa. Seorang wanita hebat yang terlahir dari api, lembut hatinya namun memiliki keteguhan jiwa yang sangat kuat.

“dia mirip kamu” ucapku dengan suara terkesan berbisik, bahkan tidak dapat terdengar jika tidak fokus.

Sekilas aku perhatikan Aila hanya tersenyum mendengar perkataanku, entah senang karena dipuji atau senang karena ternyata aku tidaklah bisu. Aku dan Aila sangat menikmati pemandangan di museum wayang, walaupun harus ku ingatkan tak ada kata-kata yang keluar, namun kami tetap menikmatinya. Aku mengetahui Aila menyukainya karena dia selalu tersenyum ketika aku melihatnya.

 Jalan-jalan di museum ternyata membuat perut Aila lapar. Akhirnya ia mengajak untuk makan. Percakapan pertama, yang dia mulai duluan.

“makan yuk” ucap Aila dengan tak melupakan senyumnya

“mau makan apa?” tanyaku

“itu, yang ada aja” ucapnya sambil menunjuk tukang nasi goreng di dekat museum fatahilah

Akhirnya kami makan di tempat nasi goreng. Abang penjualnya ramah, tapi menjadi terlihat tegas karena kumis lebatnya. Disana  tak hanya kami, ada juga orang lain yang sedang memesan. Sepertinya mereka berpacaran. Karena sang wanita terus memegang tangan si pria dan si pria terus mengelus rambut si wanita. Selain itu si pria juga menjelma pujangga, selalu diutarakannya kata-kata yang merupa sajak. Tapi dari pada terus melihat adegan mereka, aku lebih memilih melihat senja di kota tua. Merasakan belaian lembut angin sore sambil menyaksikan kumpulan burung gereja yang saling mengejar.

“hei, aaaa coba” ucap Aila membuyarkan lamunanku, sementara ternyata pesanan ku pun sudah ada di meja. masih bingung dengan diriku yang sering kali melamun, tiba-tiba Aila menyuruhku untuk membuka mulut karena ingin menyuapiku.

Aku hanya menurut. Aila menyuapiku lalu tersenyum setelahnya. Aku merasakan kehangatan pada dirinya. Cinta mungkin tak perlu terlalu diumbar dengan kata-kata sayang ataupun dengan kado berlebihan. Cinta hanya cukup dirasakan dan kau temukan damai didalamnya. Senja dan Aila, dua hal yang membuat hariku sempurna. Seperti perkataanmu, tak ada sesuatu yang kebetulan. Setidaknya terimakasih kau sempat hadir ketika itu. Dan kota tua kini selalu menjadi saksi bisu, tentang diriku yang bisu kepada cinta.

 

Kamis, 27 April 2017

Bosan

Bosan. Layar televisi ataupun smartphone sama saja. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta merupa sajian utama semua media Nasioal maupun Indipendent. Tak hanya itu, story instagram dan akun media sosial pun sama. Berbagai macam jari dan bekas tinta menjadi tren. Ditambah lagi dengan caption kebangsaannya. Caper. Cerita tak habis sampai situ, pasangan nomor urut 3 memenangi hasil quick count. Lalu berbagai tulisan mulai muncul satu persatu, mulai dari kalimat takbir hingga kalimat kecewa atas hasil pemilihan. Dunia selalu saja berselisih. Basi.
Ditengah kebosanan gue menjadikan diri sebagai penonton. Kali ini gue mau apatis dengan Negeri ini. Kali ini gue ngga kenal dengan moto “satu suara menentukan Jakarta.” Semua fana, tidak kah semua hanya karangan belaka yang membuat rakyat menjadi kerdil dan bodoh? Kita berseteru dengan semua yang di jejalkan media. bersungut memberi penilaian bahwa yang baik ialah dia dan dialah yang munafik. Berdebat kalau pilihan kamu itu salah, seharusnya pilih ini. Mencoba mengambil hati warga dengan agama. Melakukan intervensi tentang pemahaman jangan mau dibodohi ajaran agama. Semua begitu menjijikan. Sesuatu yang pasti ialah: GUE MENDING GOLPUT, BODO. Siapa yang akan kau percaya? Penista agamamu atau penjual agamamu? Bukankah keduanya melakukan demi kekuasaan? Jika mereka mengatakan untuk rakyat, seluruh orang yang berada di partai politiknya juga masyarakat. Imigran-imigran pun juga disebut rakyat.
Tulisan ini membosankan, gue sangat setuju. Gue mikirinnya saat bosan, sambil marah sekaligus tiduran. Sangat menjengkelkan mengetahui Negara diisi oleh orang munafik. Media nasional sudah memenuhi kepentingan penguasa. Media independent hanya mengatakan apa yang mereka lihat. Bukankah mata selalu tertipu? Sekarang lihat si Anu yang menang, mana lagi yang berkoar untuk meminta penista agama di tangkap? Saya sangat menunggunya. Terlepas dari politik dan pembangunan yang entah buat siapa, saya tidak menyukainya karena menista agama saya. Ini subjektif. Tapi jangan khawatir, saya juga tak suka yang satu lagi, karena seperti alasan tadi. Saya tak suka agama saya dijual demi kepentingan. Kembali ke topik, kini yang terjadi ketika sesuatu terjadi, lalu sebuah masalah selesai. Permainan politik, pengalihan isu dan sebagainya. Seharusnya masyarakat sudah cukup cerdas untuk mengamati itu semua. Si Anu menang? Siapa yang memenangkan? Rakyatkah? Atau sekarang sudah ada perjanjian politik? Jika boleh su’suzon “lo boleh menang, tapi kasus gue selesai, terus proyek gue tetep jalan.” Jika dulu pemimpin ditetapkan dari darah biru, era demokrasi sekarang pemimpin ditetapkan dari darah tajir.

Gue ngga punya saran untuk masalah ini, tapi sesungguhnya sesuatu yang diharapkan dari tulisan ini hanya “jangan mau di begoin.” Jangan mau terpecah karena ketika pecah otomatis kita kalah. Jangan biarin masalah baru bikin masalah sebelumnya lepas. Mungkin tulisan ini memang ngebosenin banget, tapi gue berharap lebih dengan pembaca. Mungkin ngga sebagus tulisan para novelis atau para sastrawan. Tetapi untuk satu hal yang pasti, kita bisa mengerti dengan memahami, kita bisa memahami dengan mengamati. Kita yang mengawal Indonesia. Jangan berhenti disini. Kita terus maju, kuat dan melawan mereka. Ini bukan makar, ini adalah pengawalan. Kita bisa menaikkan, kitapun dapat menjatuhkan.

Kamis, 16 Maret 2017

Pada Suatu Ketika

Pada suatu ketika, di tempat yang terlalu jauh untuk dicapai. Seorang pemimpin besar yang pernah memperjuangkan Negerinya rindu akan kampung halamannya. Ia kembali teringat dengan perjuangannya membela bumi pertiwi, air mata dan darah yang bercucuran, kelaparan dan kehausan, keterpurukan dan ketidak adilan, teriakan “merdeka atau mati.” Semua hadir kembali. Namun, dalam semua ingatan, sang pempimpin teringat sahabatnya, seseorang yang selalu disampingnya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Ia bertanya dalam perenungannya “bagaimana Bangsaku kini?”

H:            “Merindukanku No? ucap seseorang dari belakang, suara yang selalu dihafalnya.
S:            “Ahh kau ini, seharusnya aku yang bertanya begitu, kan kau yang datang kemari. Hahaha”
H:            “Kau sama saja seperti dulu No” ucapnya dengan senyum yang sama seperti dulu
S:            “Karena kau sudah disini, coba ceritakan bagaimana Negara kita kini? Apakah sudah berhasil mengalahkan Inggris atau Amerika itu?”
H:           “…………………………………………..” hening, yang terdengar hanyalah detik jam dan yang tampak hanyalah kesedihan.
S:            “Kau kenapa? Ceritakan kepadaku” tanyanya mendesak.
H:           “Apakah kau yakin mau mendengarkannya? Negaramu kini tak sesuai dengan harapanmu dulu No”
S:            “Katakan saja, aku siap mendengarkannya” ucapnya dengan tatapan penasaran
H:           “Jika seharusnya bersedih, dirimulah yang sepatutnya bersedih No. Cita-cita yang kau perjuangkan dulu kini terlupakan. Negara mu sekarang hanya markas para pemimpin yang mementingkan keperluan pribadi dan kelompok. Bangsa mandiri yang kau impikan kini menjadi Negara yang terlilit hutang. Korupsi dimana-mana. Rakyat miskin terus meronta kelaparan sementara penguasa sibuk pencitraan. Kau harus tau dalam beberapa waktu ini ada kabar bahwa satu keluarga mati bunuh diri, mereka tidak kuat menanggung beban hidup di Bangsa ini. Sesuatu yang ku yakini, ia tidaklah mati bunuh diri, mereka mati karena dibunuh kejamnya Negeri ini”
S:            “Apa yang kau katakan? Seburuk itukah Bangsaku kini?”
H:           “Lebih dari itu No. Kau tentu ingat tentang Negara kita adalah Negara Non-Blok. Kini tak lagi. Malah pihak asing sudah memulai invasi, tiap pihak asing sudah mengeluarkan maskotnya kepada publik, menciptakan dirinya seakan pahlawan yang jujur dan bersih, masuk kedalam sendi-sendi politik Indonesia dan berniat menguasai Negeri kita. Pancasila yang dulu kau perjuangkan dihina, ideologi bangsa yang seharusnya dihormati, kini itu semua hilang No. Bangsa kita hancur karena mereka, oknum yang kini menjadi mayoritas.”
Seketika kesenduan masuk kedalam hati para veteran pemimpin. Tangis yang tertahan dalam jiwa yang habis terkoyak, atau mungkin lebih sakit lagi. Mereka hancur, dan terkubur oleh serpihan pengharapan oleh Negaranya kelak.
S:            “Tunggu dulu, bagaimana dengan para pemudanya? Jika pemuda tetap memiliki karakter Pancasila, aku yakin Bangsa ini masih dapat terselamatkan.”
H:           “Kau benar No, memang sebuah Bangsa terletak di tangan para pemuda, baik atau buruknya suatu Bangsa kelak itu tergantung para pemudanya. Tetapi jika dilihat sekarang, para pemuda kini harus ada yang menyadarkan No.”
S:            “Maksudmu bagaimana? Memang kenapa dengan pemuda kita sekarang?”
H:           “Jujur No, secara potensi banyak generasi muda di Bangsa kita memiliki kualitas yang bagus, tetapi sayangnya generasi muda kini telah banyak dicekoki produk-produk asing. Pemikiran mereka telah dibuat tak berisi oleh tayangan televisi. Smartphone yang seharusnya membuat mereka cerdas malah menjadikan mereka ketergantungan dengan handphone. Mereka menjadi generasi menunduk.”
S:            “Maksudmu generasi menunduk apa?”
H:           “Iya, mereka hanya fosus pada layar smartphone mereka. Mereka sibuk peduli dengan apa yang ada di media sosial dari pada kehidupan nyata. Banyak dari mereka berkomentar bijak tanpa sebuah aksi nyata.
S:            “Setidaknya mereka memberikan komentar, bukankah itu pemikiran yang jika dijalankan dapat membangun Bangsa ini?
H:           “Aku setuju No dengan pemikiranmu, namun harus disayangkan lagi. Minat membaca di Negara kita sangat rendah, tetapi minat untuk berkomentar sangatlah tinggi. Bukankah komentar tak berisi sangatlah tak penting No?
Sekali lagi, keheningan hadir ditengah pembicaraan mereka.
H:           “Maafkan aku No, harus menceritakan ini kepadamu, pemuda yang kau bilang dapat mengguncang dunia, kini kalimat itu hanya menjadi penghias caption mereka di foto instagramnya. Aku ingat kau pernah mengatakan kalau kita adalah bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita, tapi kini tak ada satupun dari pemudamu yang mau menderita. Untuk membaca saja mereka malas. Kini, sudah jarang yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad merdeka, mereka hanya memburu hits didunia maya. Dunia fana semacam Disneyworld dimana semua keajaiban terwujud, padahal Tuhan hanya mengubah nasib suatu kaum, jika kaum itu sendiri yang mau mengubahnya”
S:            “Cukup, aku sudah mengerti ta. Meskipun dengan kondsi seperti itu, aku tetap percaya dengan generasi muda, aku tetap percaya diantara mereka yang masih mewarisi tekad merdeka. Walaupun diantara mereka terdapat generasi menunduk seperti katamu, aku yakin mereka dapat berubah. Mereka hanya kurang dorongan. Aku yakin selalu ada jalan, untuk mengenalkan mereka dengan pahlawannya, aku yakin disuatu hari nanti mereka akan kembali mengingat jasa para pahlawannya, mereka akan menanamkan sejarah Bangsa dihatinya. Dan ketika saat itu tiba, tak akan lagi kita temukan sendu diantara kita dan tersenyum bersama karena cita-cita kita telah tercapai.

S&H:      “Kini perkataanku dahulu benar adanya, perjuangan kalian akan lebih sulit karena harus melawan bangsa kalian sendiri. Namun, kutitipkan bangsa dan Negara ini kepada kalian. Jaga dan rawatlah ia. Kuberikan amanah ini dipundak kalian, bukan sesuatu yang kebetulan, tapi karena memang kalianlah yang bisa. Bangunkan lagi macan asia. Hidupkan lagi Elang Rajawalimu,”

Sabtu, 11 Maret 2017

Generasi Minder

Generasi Seru? Generasi milenium? Bukan, kita generasi minder!

“Berikan aku 1000 orang tua dan akan ku cabut semeru dari akarnya, namun berikan aku 10 pemuda, akan ku guncangkan dunia.”
-Ir. Soekarno
                Pemuda, tombak Negara. Bahkan dalam kutipan pidato Bpk. Ir. Soekarno terlihat jelas bagaimana pengharapannya terhadap pemuda. Bagaimana pemuda sebenarnya memiliki potensi untuk membangun Negara dan bahkan mengubah dunia. Golongan pemuda selalu menjadi penentu Negara ini.  Konsep dari pemuda Indonesia sesungguhnya dapat dilihat pada tanggal 28 Oktober 1928. Apa pemuda masih ada yang mengingat peristiwa apa yang terjadi pada tanggal tersebut? Jika lupa, buka kembali buku sejarah kalian.
                Sumpah Pemuda, perjuangan awal yang menjadi landasan kemerdekaan Indonesia. Sebuah ikrar diri dari para pemuda pemudi Indonesia dari berbagai daerah. Bersatunya seluruh pemuda tanah air demi menegaskan berdirinya Indonesia. Jika dilihat, 14 tahun setelah sumpah pemuda dilaksanakan, Indonesia merdeka. Golongan muda yang dulunya menghibahkan dirinya untuk Indonesia, menjadi golongan yang berada dipusat pemerintahan.
Lalu? Bagaimana dengan kalian? Sepertinya generasi kita lebih baik bukan? Mengisi kemerdekaan dengan postingan ngak ngik ngok, pacaran, dan berbagai kebahagiaan palsu dunia fantasi ‘disney world’ di akun sosial kalian. Sindiran kah ini? Tentu saja. Terutama untuk si penulis.
Daripada generasi seru atau generasi milenium, lebih cocok generasi sekarang disebut generasi minder. Kolonialisme berhasil menjajah pendahulu kita, dan berhasil membudayakan minder sampai sekarang. Persepsi kita selalu ada dibawah Negara asing berlaku disemua hal. Contohnya sekarang pemuda banyak yang kagum dengan sesuatu yang berasal dari bangsa luar ketimbang sesuatu dari Negeri sendiri. Jika alasannya karena kualitas mereka diatas, itu artinya kalian hanya bisa sebatas menikmati, bukan melakukan pergerakan untuk menjadi lebih baik. Jika tidak tahu caranya berproduksi, sepertinya lebih baik menjadi budak. Mirisnya, tak hanya produk, bahkan jika menggunakan bahasa asing, kita merasa lebih keren. Apakah dengan begitu kita  keren? Tidak! Lebih tepat kalau kita tidak mempunyai kepribadian. Lebih ekstrem lagi ketika seorang pemuda mengatakan “coba kita dijajah sama inggris, pasti maju” sebuah konsep berpikir budak yang sampai sekarang tidak cocok merdeka.
Coba buka lagi buku sejarah kalian, dimana kekuasaan Majapahit yang bisa menguasai beberapa Negara. Kebudayaan Indonesia lebih banyak dicintai masyarakat asing. Ketika Ir. Soekarno memilih keluar dari PBB karena tidak becus mengurus persatuan bangsa-bangsa dan hanya mengusrus kepentingan Negara berkuasa. Tak hanya keluar dari PBB, Indonesia semakin kuat dengan membuat tandingan PBB, yaitu Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Force) yang disambut baik dengan  dukungan banyak negara khusunya Afrika, Asia, Amerika Selatan, bahkan ada sebagian Negara Eropa yang mendukung.
Harapan saya dari tulisan ini hanya sampai pada para pemuda atau siapapun yang membaca. Sudah saatnya Indonesia berhenti minder. Sejarah kita lebih keren dengan kepribadian yang mencintai negeri ini. Indonesia bangsa mandiri yang berani mengatakan “kami Negara non-blok”. Indonesia tidak memihak, Indonesia Negara mandiri, Indonesia berdiri sendiri. Jika pemegang kekuasaan kini tengah bobrok. Lupakan itu semua. Andaikan benar mereka hanya budak asing yang hanya bisa mengemis. Lupakan mereka. Mereka bukan Indonesia. Karena sejatinya kita Negara yang mandiri, tak suka mengemis pada asing. Sekarang fokuslah dengan apa yang dapat kalian kerjakan. Kita kuat bersama. Menjadi Indonesia yang sesungguhnya. Diakhir tulisan ini, saya tuliskan ikrar Sumpah Pemuda. Setelah membacanya, coba rasakan kita merupa pemuda Indonesia yang bersatu.
Sumpah Pemuda
Kami putra dan puteri Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia
Kami putra dan puteri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia

Kami putra dan puteri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia

Senin, 06 Februari 2017

Indonesia Berduka


Malam ini saya menulis dengan hati yang runtuh. Hati yang tengah berduka melihat Negaraku yang kian memburuk karena asing-asing yang tengah menggerogoti negara ini. Politik pecah belah dipakainya, taktik lama yang masih ampuh sampai sekarang. Berbagai kasus seakan dibuat viral. Masyarakat dibuat semakin sensitive hingga lupa dengan siapa musuh sebenarnya. Siapa yang harus dilawan dan dengan apa kita dapat kuat. Kasus penistaan agama yang kini bahkan membuat konflik antar umat terus berjalan. Sesama muslim saling mengkafirkan, sesama Indonesia saling menggumpat, sesama manusia semakin hilang rasa kemanusiaan. Mereka yang melakukan perjuangan menyalahkan mereka yang memilih bersabar. Mereka yang berdiam seolah sabar menyalahkan mereka yang tidak bisa bersikap tenang. Manusia-manusia yang merasa intelektual hanya mengatakan ini sebagai kepentingan politik hingga mengatakan bodoh orang yang melakukan pergerakan. Mereka yang merasa benar malah menjadikan ini sebagai bahan lelucon. Mereka yang berbeda ras, etnis, agama, ideologi sekarang menjadikan itu sebagai bahan perpecahan. Lalu, mereka yang ingin merebut kekuasaan tertawa, menatap betapa mudahnya manusia Indonesia untuk dipecahkan. Betapa rapuhnya Indonesia untuk dihancurkan dari dalam.
Malam ini saya menulis dengan jiwa yang terkoyak. Merah putih sebagai rumah yang selalu ku banggakan sedang diobrak abrik dengan mereka, sisi gelap dunia. Tak peduli siapapun yang harus dihancurkan, dan target yang pilih kini ialah Indonesia. Rumahku. Dimana manusianya kini telah hilang jiwa pancasilanya. Entah apa yang kalian anut, apapun itu kita tetap bagian dari Indonesia, kita tetap Pancasila.  Kita tetap manusia yang seharusnya memperlakukan manusia sebagaimana ingin di perlakukan. Kita tetap saudara, walaupun bukan dalam agama, ras, budaya, kita tetaplah saudara dalam kemanusiaan. Kenapa kita terpecah kini? Kenapa kita menyatakan perang kepada saudara kita? Bukankah sesuatu yang salah harusnya dibenarkan? Lalu mengapa kita malah saling memusuhi? Sadar kawan, ini lah yang diharapkan mereka. Inilah yang diharapkan untuk menghancurkan bangsamu dari dalam kawan. Sadarlah.
Malam ini saya menulis dengan satu buah harapan kepada kalian yang mungkin membaca. Kawan, saya meridnukan Indonesia yang selalu diceritakan kakek ku. Aku merindukan Indonesia yang masyarakatnya bahu membahu membangun rumah ibadah bersama, saling toleransi dan menghormati agama lain. Bukan malah menistakan.  Aku membayangkan tiap manusia menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya hingga menjadi manusia Indonesia yang tersenyum sesuai sila pertama. Aku membayangkan para pihak penguasa dan tiap masyarakat dapat saling memanusiakan manusia dengan cara yang beradap hingga menjadi manusia Indonesia yang tersenyum sesuai sila kedua. Aku membayangkan tiap warga Indonesia, tiap suku ras agama budaya menciptakan pelangi yang keindahannya bernama NKRI hingga menjadikan manusia Indonesia yang tersenyum, sesuai dengan sila ketiga. Aku membayangkan kepada pemimpin bangsa, stop pencitraan, stop media darling, stop memikirkan kekuasaan. Masyarakat hanya membutuhkan pemimpin yang mencintai, dan sang pemimpin pun akan dicintai, hingga menjadi manusia Indonesia yang tersenyum sesuai sila keempat. Aku membayangkan semua dari masyarakat Indonesia untuk bersikap adil, bukan sama rata namun sesuai dengan porsinya, itulah keadilan sehingga menjadi manusia Indonesia yang tersenyum sesuai sila kelima. Hingga akhirnya menciptakan INDONESIA yang tersenyum.
Sekali lagi, untuk saudaraku di Indonesia. Masalah kita kini melawan mereka yang tengah berupaya menguasai negeri ini, mereka yang tengah menjalankan plannya. Mengumbar pernyataan kontroversial > menyulut kaum mayoritas > membuat tandingan melawan kaum mayoritas > membuat kaum minoritas merasa tak adil > membuat pihak yang merasa intelektual muak dengan permasalahan > dan ketika sesama saudara saling membunuh, rumahpun akan diambil. Dan sebelum itu terjadi, sebaiknya kita ingat lagi apa yang dikatakan Ir. Soekarno pada saat dikudeta oleh sahabatnya “Tahu kamu kalau aku ngomong blak-blakan. Aku yakin akan terjadi perang saudara. Kalau perang dengan bangsa lain, kita bisa membedakan fisiknya. Tapi dengan bangsa sendiri, itu sangat sulit. Lebih baik aku robek diriku sendiri, aku yang mati daripada rakyatku yang perang. Aku tidak sudi minta suaka ke negeri orang”
 
Hidupkan lagi Indonesia.
#SatuIndonesia
#Indonesiasatu

Minggu, 22 Januari 2017

Surat Untuk Calon Pemimpin DKI


Kepada calon pemimpin DKI Jakarta, bagaimana kampanyenya? Sudahkah saling menjatuhkan satu sama lain? Sudahkah menggunakan segala pencitraan untuk mengambil hati rakyat? Sudahkah menggunakan etnis, ras, agama dan sebagainya untuk mendapatkan dukungan? Atau menggunakan hal tersebut untuk menjatuhkan lawan kalian? Saya melihat didebat pilgub kalian, kalian tak enggan menyindir satu sama lain. Saya khawatir dengan Jakarta nantinya Jakarta sebagai tanah kelahiran saya hanya menjadi kota yang dihuni masyarakat tukang sindir karena mencontoh pemimpinnya kelak. Seperti yang sedang saya lakukan sekarang, saya mengakui bahwa saya telah berhasil menjadi tukang sindir.


Kepada calon pemimpin DKI sekalian, bolehkah saya mengutarakan isi hati saya? Sungguh saya hanyalah pemuda dengan IPK pas-pasan yang mencintai Jakarta, terlebih lagi Indonesia. Hal yang ingin saya sampaikan kini hanyalah. Bapak, saya merindukan pemimpin yang sesungguhnya. Saya merindukan pemimpin seperti Bpk. Proklamator, Ir.Soekarno. Saya rindu dengan pemimpin yang tegas, tegas membela negaranya. Bukan mereka yang menindas rakyatnya sendiri. Saya merindukan pemimpin yang tak perlu pencitraan baik untuk mendapatkan simpati, melainkan memang kebaikannya yang membawa simpati. Saya rindu dengan pemimpin yang mendengarkan rakyat daripada mendengarkan kepentingannya, kepentinggan bapaknya, partainya atau bahkan roshchild. Saya rindu dengan pemimpin yang berorasi untuk membangun kebaikan, bukan pemimpin yang memasuki tempat ibadah, lalu berorasi seakan membawa pesan kebaikan. Kebaikan untuk siapa? Dirinya? Partainya? Sudahlah. Saya rindu dengan pemimpin yang pemberani, berani kepada bangsa asing demi rakyat, bukan berani kepada rakyat demi kepentingan bangsa asing Terlebih lagi, saya merindukan pemimpin yang mencintai rakyatnya. Pemimpin yang tak rela rakyatnya dihina oleh negara tetangga, pemimpin yang tak sanggup mendengar rintihan kelaparan rakyatnya. Pemimpin yang dapat menyatukan perbedaan, memberi pengertian kepada warganya kalau kita INDONESIA. Bukan pemimpin yang membuat kotanya perang dengan sesamanya. Sesama Indonesia. Apakah kalian merindukannya juga Bapak-bapak calon Gubernur?


Kepada calon pemimpin DKI, saya meminta maaf jika tulisan ini membuat kalian tidak berkenan. Saya hanya seorang pemuda yang merindukan sosok pemimpin seperti Soekarno. Berharap menemukan sosok Soekarno lagi dijaman sekarang. Seorang pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyatnya, bukan dengan drama, isu, pencitraan, buzzer atau dengan media. Pemimpin yang dicintai, karena dirinya mencintai.

Cerita Malam


Malam semakin bisu. Dikala jarak terus membunuh rasa. Pernahkah kau tanyakan pada kerlip lampu yang menghiasi hitam diantara malam? Bagaimana ia memancarkan bermanik cahaya menembus kabut. Membuat terpana, seakan menyaksikan kumpulan cahaya yang mencumbu dingin. Memudarkan segala kelam, bahkan pada sunyi yang tak bernama dalam diriku.