Kamis, 16 Maret 2017

Pada Suatu Ketika

Pada suatu ketika, di tempat yang terlalu jauh untuk dicapai. Seorang pemimpin besar yang pernah memperjuangkan Negerinya rindu akan kampung halamannya. Ia kembali teringat dengan perjuangannya membela bumi pertiwi, air mata dan darah yang bercucuran, kelaparan dan kehausan, keterpurukan dan ketidak adilan, teriakan “merdeka atau mati.” Semua hadir kembali. Namun, dalam semua ingatan, sang pempimpin teringat sahabatnya, seseorang yang selalu disampingnya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Ia bertanya dalam perenungannya “bagaimana Bangsaku kini?”

H:            “Merindukanku No? ucap seseorang dari belakang, suara yang selalu dihafalnya.
S:            “Ahh kau ini, seharusnya aku yang bertanya begitu, kan kau yang datang kemari. Hahaha”
H:            “Kau sama saja seperti dulu No” ucapnya dengan senyum yang sama seperti dulu
S:            “Karena kau sudah disini, coba ceritakan bagaimana Negara kita kini? Apakah sudah berhasil mengalahkan Inggris atau Amerika itu?”
H:           “…………………………………………..” hening, yang terdengar hanyalah detik jam dan yang tampak hanyalah kesedihan.
S:            “Kau kenapa? Ceritakan kepadaku” tanyanya mendesak.
H:           “Apakah kau yakin mau mendengarkannya? Negaramu kini tak sesuai dengan harapanmu dulu No”
S:            “Katakan saja, aku siap mendengarkannya” ucapnya dengan tatapan penasaran
H:           “Jika seharusnya bersedih, dirimulah yang sepatutnya bersedih No. Cita-cita yang kau perjuangkan dulu kini terlupakan. Negara mu sekarang hanya markas para pemimpin yang mementingkan keperluan pribadi dan kelompok. Bangsa mandiri yang kau impikan kini menjadi Negara yang terlilit hutang. Korupsi dimana-mana. Rakyat miskin terus meronta kelaparan sementara penguasa sibuk pencitraan. Kau harus tau dalam beberapa waktu ini ada kabar bahwa satu keluarga mati bunuh diri, mereka tidak kuat menanggung beban hidup di Bangsa ini. Sesuatu yang ku yakini, ia tidaklah mati bunuh diri, mereka mati karena dibunuh kejamnya Negeri ini”
S:            “Apa yang kau katakan? Seburuk itukah Bangsaku kini?”
H:           “Lebih dari itu No. Kau tentu ingat tentang Negara kita adalah Negara Non-Blok. Kini tak lagi. Malah pihak asing sudah memulai invasi, tiap pihak asing sudah mengeluarkan maskotnya kepada publik, menciptakan dirinya seakan pahlawan yang jujur dan bersih, masuk kedalam sendi-sendi politik Indonesia dan berniat menguasai Negeri kita. Pancasila yang dulu kau perjuangkan dihina, ideologi bangsa yang seharusnya dihormati, kini itu semua hilang No. Bangsa kita hancur karena mereka, oknum yang kini menjadi mayoritas.”
Seketika kesenduan masuk kedalam hati para veteran pemimpin. Tangis yang tertahan dalam jiwa yang habis terkoyak, atau mungkin lebih sakit lagi. Mereka hancur, dan terkubur oleh serpihan pengharapan oleh Negaranya kelak.
S:            “Tunggu dulu, bagaimana dengan para pemudanya? Jika pemuda tetap memiliki karakter Pancasila, aku yakin Bangsa ini masih dapat terselamatkan.”
H:           “Kau benar No, memang sebuah Bangsa terletak di tangan para pemuda, baik atau buruknya suatu Bangsa kelak itu tergantung para pemudanya. Tetapi jika dilihat sekarang, para pemuda kini harus ada yang menyadarkan No.”
S:            “Maksudmu bagaimana? Memang kenapa dengan pemuda kita sekarang?”
H:           “Jujur No, secara potensi banyak generasi muda di Bangsa kita memiliki kualitas yang bagus, tetapi sayangnya generasi muda kini telah banyak dicekoki produk-produk asing. Pemikiran mereka telah dibuat tak berisi oleh tayangan televisi. Smartphone yang seharusnya membuat mereka cerdas malah menjadikan mereka ketergantungan dengan handphone. Mereka menjadi generasi menunduk.”
S:            “Maksudmu generasi menunduk apa?”
H:           “Iya, mereka hanya fosus pada layar smartphone mereka. Mereka sibuk peduli dengan apa yang ada di media sosial dari pada kehidupan nyata. Banyak dari mereka berkomentar bijak tanpa sebuah aksi nyata.
S:            “Setidaknya mereka memberikan komentar, bukankah itu pemikiran yang jika dijalankan dapat membangun Bangsa ini?
H:           “Aku setuju No dengan pemikiranmu, namun harus disayangkan lagi. Minat membaca di Negara kita sangat rendah, tetapi minat untuk berkomentar sangatlah tinggi. Bukankah komentar tak berisi sangatlah tak penting No?
Sekali lagi, keheningan hadir ditengah pembicaraan mereka.
H:           “Maafkan aku No, harus menceritakan ini kepadamu, pemuda yang kau bilang dapat mengguncang dunia, kini kalimat itu hanya menjadi penghias caption mereka di foto instagramnya. Aku ingat kau pernah mengatakan kalau kita adalah bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita, tapi kini tak ada satupun dari pemudamu yang mau menderita. Untuk membaca saja mereka malas. Kini, sudah jarang yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad merdeka, mereka hanya memburu hits didunia maya. Dunia fana semacam Disneyworld dimana semua keajaiban terwujud, padahal Tuhan hanya mengubah nasib suatu kaum, jika kaum itu sendiri yang mau mengubahnya”
S:            “Cukup, aku sudah mengerti ta. Meskipun dengan kondsi seperti itu, aku tetap percaya dengan generasi muda, aku tetap percaya diantara mereka yang masih mewarisi tekad merdeka. Walaupun diantara mereka terdapat generasi menunduk seperti katamu, aku yakin mereka dapat berubah. Mereka hanya kurang dorongan. Aku yakin selalu ada jalan, untuk mengenalkan mereka dengan pahlawannya, aku yakin disuatu hari nanti mereka akan kembali mengingat jasa para pahlawannya, mereka akan menanamkan sejarah Bangsa dihatinya. Dan ketika saat itu tiba, tak akan lagi kita temukan sendu diantara kita dan tersenyum bersama karena cita-cita kita telah tercapai.

S&H:      “Kini perkataanku dahulu benar adanya, perjuangan kalian akan lebih sulit karena harus melawan bangsa kalian sendiri. Namun, kutitipkan bangsa dan Negara ini kepada kalian. Jaga dan rawatlah ia. Kuberikan amanah ini dipundak kalian, bukan sesuatu yang kebetulan, tapi karena memang kalianlah yang bisa. Bangunkan lagi macan asia. Hidupkan lagi Elang Rajawalimu,”

0 komentar:

Posting Komentar