Pada suatu ketika, di tempat yang terlalu jauh untuk dicapai. Seorang
pemimpin besar yang pernah memperjuangkan Negerinya rindu akan kampung
halamannya. Ia kembali teringat dengan perjuangannya membela bumi pertiwi, air
mata dan darah yang bercucuran, kelaparan dan kehausan, keterpurukan dan
ketidak adilan, teriakan “merdeka atau mati.” Semua hadir kembali. Namun, dalam
semua ingatan, sang pempimpin teringat sahabatnya, seseorang yang selalu
disampingnya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Ia bertanya dalam perenungannya
“bagaimana Bangsaku kini?”
H: “Merindukanku No? ucap
seseorang dari belakang, suara yang selalu dihafalnya.
S: “Ahh kau ini,
seharusnya aku yang bertanya begitu, kan kau yang datang kemari. Hahaha”
H: “Kau sama saja seperti
dulu No” ucapnya dengan senyum yang sama seperti dulu
S: “Karena kau sudah disini, coba
ceritakan bagaimana Negara kita kini? Apakah sudah berhasil mengalahkan Inggris
atau Amerika itu?”
H: “…………………………………………..” hening, yang
terdengar hanyalah detik jam dan yang tampak hanyalah kesedihan.
S: “Kau kenapa? Ceritakan kepadaku”
tanyanya mendesak.
H: “Apakah kau yakin mau
mendengarkannya? Negaramu kini tak sesuai dengan harapanmu dulu No”
S: “Katakan saja, aku siap
mendengarkannya” ucapnya dengan tatapan penasaran
H: “Jika seharusnya bersedih, dirimulah
yang sepatutnya bersedih No. Cita-cita yang kau perjuangkan dulu kini
terlupakan. Negara mu sekarang hanya markas para pemimpin yang mementingkan
keperluan pribadi dan kelompok. Bangsa mandiri yang kau impikan kini menjadi
Negara yang terlilit hutang. Korupsi dimana-mana. Rakyat miskin terus meronta
kelaparan sementara penguasa sibuk pencitraan. Kau harus tau dalam beberapa
waktu ini ada kabar bahwa satu keluarga mati bunuh diri, mereka tidak kuat
menanggung beban hidup di Bangsa ini. Sesuatu yang ku yakini, ia tidaklah mati
bunuh diri, mereka mati karena dibunuh kejamnya Negeri ini”
S: “Apa yang kau katakan? Seburuk
itukah Bangsaku kini?”
H: “Lebih dari itu No. Kau tentu ingat
tentang Negara kita adalah Negara Non-Blok. Kini tak lagi. Malah pihak asing
sudah memulai invasi, tiap pihak asing sudah mengeluarkan maskotnya kepada
publik, menciptakan dirinya seakan pahlawan yang jujur dan bersih, masuk
kedalam sendi-sendi politik Indonesia dan berniat menguasai Negeri kita.
Pancasila yang dulu kau perjuangkan dihina, ideologi bangsa yang seharusnya
dihormati, kini itu semua hilang No. Bangsa kita hancur karena mereka, oknum
yang kini menjadi mayoritas.”
Seketika kesenduan
masuk kedalam hati para veteran pemimpin. Tangis yang tertahan dalam jiwa yang
habis terkoyak, atau mungkin lebih sakit lagi. Mereka hancur, dan terkubur oleh
serpihan pengharapan oleh Negaranya kelak.
S: “Tunggu dulu, bagaimana dengan para
pemudanya? Jika pemuda tetap memiliki karakter Pancasila, aku yakin Bangsa ini
masih dapat terselamatkan.”
H: “Kau benar No, memang sebuah Bangsa
terletak di tangan para pemuda, baik atau buruknya suatu Bangsa kelak itu
tergantung para pemudanya. Tetapi jika dilihat sekarang, para pemuda kini harus
ada yang menyadarkan No.”
S: “Maksudmu bagaimana? Memang kenapa
dengan pemuda kita sekarang?”
H: “Jujur No, secara potensi banyak
generasi muda di Bangsa kita memiliki kualitas yang bagus, tetapi sayangnya
generasi muda kini telah banyak dicekoki produk-produk asing. Pemikiran mereka
telah dibuat tak berisi oleh tayangan televisi. Smartphone yang seharusnya
membuat mereka cerdas malah menjadikan mereka ketergantungan dengan handphone.
Mereka menjadi generasi menunduk.”
S: “Maksudmu generasi menunduk apa?”
H: “Iya, mereka hanya fosus pada layar
smartphone mereka. Mereka sibuk peduli dengan apa yang ada di media sosial dari
pada kehidupan nyata. Banyak dari mereka berkomentar bijak tanpa sebuah aksi
nyata.
S: “Setidaknya mereka memberikan
komentar, bukankah itu pemikiran yang jika dijalankan dapat membangun Bangsa
ini?
H: “Aku setuju No dengan pemikiranmu,
namun harus disayangkan lagi. Minat membaca di Negara kita sangat rendah,
tetapi minat untuk berkomentar sangatlah tinggi. Bukankah komentar tak berisi
sangatlah tak penting No?
Sekali
lagi, keheningan hadir ditengah pembicaraan mereka.
H: “Maafkan aku No, harus menceritakan
ini kepadamu, pemuda yang kau bilang dapat mengguncang dunia, kini kalimat itu hanya menjadi
penghias caption mereka di foto instagramnya. Aku ingat kau pernah mengatakan
kalau kita adalah bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita, tapi
kini tak ada satupun dari pemudamu yang mau menderita. Untuk membaca saja
mereka malas. Kini, sudah jarang yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad
merdeka, mereka hanya memburu hits didunia maya. Dunia fana semacam Disneyworld dimana semua keajaiban
terwujud, padahal Tuhan hanya mengubah nasib suatu kaum, jika kaum itu sendiri
yang mau mengubahnya”
S: “Cukup, aku sudah mengerti ta.
Meskipun dengan kondsi seperti itu, aku tetap percaya dengan generasi muda, aku
tetap percaya diantara mereka yang masih mewarisi tekad merdeka. Walaupun
diantara mereka terdapat generasi menunduk seperti katamu, aku yakin mereka
dapat berubah. Mereka hanya kurang dorongan. Aku yakin selalu ada jalan, untuk
mengenalkan mereka dengan pahlawannya, aku yakin disuatu hari nanti mereka akan
kembali mengingat jasa para pahlawannya, mereka akan menanamkan sejarah Bangsa
dihatinya. Dan ketika saat itu tiba, tak akan lagi kita temukan sendu diantara
kita dan tersenyum bersama karena cita-cita kita telah tercapai.
S&H: “Kini perkataanku dahulu benar adanya,
perjuangan kalian akan lebih sulit karena harus melawan bangsa kalian sendiri.
Namun, kutitipkan bangsa dan Negara ini kepada kalian. Jaga dan rawatlah ia.
Kuberikan amanah ini dipundak kalian, bukan sesuatu yang kebetulan, tapi karena
memang kalianlah yang bisa. Bangunkan lagi macan asia. Hidupkan lagi Elang
Rajawalimu,”
0 komentar:
Posting Komentar