Tidak
ada sesuatu yang datang dengan kebetulan, begitu yang selalu kau katakan.
Akupun percaya itu. Semua perjalanan sudah tertulis, kita hanya perlu percaya
bahwa segalanya akan selalu menjadi indah. Persis dengan kisahku dulu bersama
wanita dengan kuncir kuda, pendiam, terkesan jutek namun tidak masalah, karena
waktu dulu aku mencintainya. Wanita yang kini menjadi kenangan disudut ruang
perasaanku. Sebut saja dia Aila.
“Hai
jutek, nanti jadi ya, ku tunggu di halte jam 1” tulisku lewat pesan singkat
kepada kekasihku Aila,
Hari
ini kita janjian untuk ngedate perdana. Aila merupakan pacar pertamaku. Menurutku
Aila merupakan sosok wanita sangat baik. Alasannya sederhana, yaitu karena
hanya dia yang mau kepadaku waktu itu. Padahal aku hanyalah pria dengan tingkat
ketampanan rata-rata sekaligus nilai raport yang banyak merahnya.
“Iya
sebentar lagi aku jalan” jawabnya setelah 10 menit ku kirim sms.
Mendapat
sms mengatakan Aila ingin jalan malah membuatku sakit perut, mungkin semacam
nervous. Ini adalah hal baru sekaligus merupakan yang pertama. Menyedihkan jika
aku gagal dalam ngedate pertamaku karena diare. Selain jadi tidak keren, aku
juga tidak mau kalau harus ngedate ke toilet umum.
Aku
berusaha tak pedulikan sakit perutku dengan mengantongi batu dan bergegas berangkat ke halte
transjakarta. Waktu itu pukul 12.18 wib, kemungkinan aku akan sampai duluan
dari pada Aila. Aku gas motorku membelah angin yang berhembus dengan perasaan
bahagia di hatiku.
Benar
saja, ternyata aku sampai lebih dahulu. Aku perhatikan, halte di stasiun Transjakarta terlihat
bersih, tidak ada sampah yang berserakkan, bahkan lantainya pun tidak terlihat kotor. Ditengah kesibukanku memperhatikan sekitar,
tiba-tiba ada seseorang pria dengan tubuh kurus dan berbaju biru tersenyum kemudian menyapa ku
“Siang
mas” ucapnya
“Eh
iya mas, masih belum malam” Jawabku sambil becanda lalu kita berdua tertawa.
Setelah
menyapa mas-mas karyawan transjakarta yang ramah itu, aku duduk di bangku yang
telah di siapkan.
Menunggu
ternyata membuatku melupakan tentang sakit perutku, bahkan pikiranku melayang
pada adegan random yang tidak jelas seperti jika nanti aku ditampar, atau ditinggalkan,
lalu putus. Aku bingung pada diriku sendiri, padahal menghayal itu bertujuan
untuk menyenangkan diri sendiri. Tapi mengapa malah aku berkhayal jelek tentang
diriku nanti. Selain itu, sebenarnya aku juga bisa membayangkan sesuatu yang
meneyanangkan seperti jika wajah pacarku berubah menjadi seperti Raisa, Isyanya
atau wanita yang namanya berakhiran “A” lainnya.
“Heh
bengong aja” ucap wanita berkuncir kuda yang ku hafal baik suaranya.
Sial,
aku tersihir oleh lamunanku sendiri. Tanpa sadar Aila sudah sampai dan ada disampingku, sejujurnya
tidak hanya Aila yang sampai. Saat itu sampai pula diriku kepada moment tercanggung, kata-kata seakan susah untuk
keluar lidahku pun seakan kelu. Dasar pria lemah.
Untuk
kedua kalinya aku bilang ini adalah ngedate pertamaku, dan tempat yang ku pilih
untuk menghabiskan waktu berlama-lama berdua adalah kota tua dibilangan Jakarta
pusat. Entah apa yang ku pikirkan, tapi sepertinya waktu itu hanya kota tua
yang ku tau tempatnya. Mungkin selain ingin menghabiskan waktu berdua akupun
ingin sekalian mengenang jasa para pahlawan yang telah mencurahkan djiwa dan
raganya untuk NKRI, demi merdekanya Indonesia Raya tercinta. Sebelum menjadikan
cerita ini sebagai kisah perjuangan, lebih baik ku kembalikan kepada waktu
perjalanan ku ke kota tua
“hehehehehehe”
hanya cengegesan, mungkin itu hal terbaik yang bisa ku berikan. Mulutku seakan
bungkam saat bersama Aila. Ia pun hanya memilih diam, tapi Aila memanglah
seorang yang pendiam, berbeda denganku yang biasanya banyak omong kepada siapa
saja. Ibu-ibu kantin, satpam sekolah, bahkan tadi juga sempat bercanda dengan
penjaga transjakarta. Sesuatu yang aku yakini sampai sekarang ialah saat itu
aku dirasuki setan bisu. Ya semua hal
dapat terjadi bukan?
Perjalananku
ke kota tua dapat terbilang sangat menyenangkan, aku berdiri dari stasiun
ragunan hingga kota tua. Ku kira saat weekend tidak akan seramai ini, tapi
entah hari itu ada apa. Lagi pula tak hanya masalah berdiri, selama perjalanan
pun aku hanya bisa sekedar menatap mata Aila dan tetap diam karena tidak tau
ingin berbicara apa. Menyenangkan bukan? Menurutku waktu itu. Ya. Itu sangat
menyenangkan, aku dapat memandang wajah kekasihku berlama-lama, menikmati tiap
pesonanya dan merasakan betapa beruntungnya aku memiliki dirinya. Tapi jika aku
mengingat hal itu lagi, aku tak heran mengapa betisku menjadi seperti sekarang.
Hanya
butuh satu jam untuk sampai ke kota tua. Pemandangan bangunan klasik jaman
pemerintahan Belanda sangatlah mengesankan. Batu besar berbentuk bola di
tempatkan di pinggir jalan raya. Trotoar untuk para pejalan kaki dibuat dengan
batu yang berbeda daripada di jalanan biasanya, aku tidak tahu bahannya apa,
bukan tukang batu soalnya. Lalu di sepanjang jalanpun berbagai pedagang juga
ikut tersusun rapi. Mulai dari tukang tattoo, makanan, jasa ramal taroot sampai
penjual makanan yang berattoo dan meramal taroot, semua ada.
Sesampainya
disana hal yang ku lakukan adalah “bingung” itupun masih tetap dalam keadaan
diam. Pertama aku bingung harus kemana atau melakukan apa, kedua aku tetap diam
karena akupun masih belum tau harus berbicara apa. Disana aku hanya
mengandalkan instingku sebagai pria untuk melakukan hal yang menarik. Hal yang
paling menarik yang ku pilih waktu itu ialah duduk di dekat senjata meriam
depan museum Fatahilah.
“mau
kemana?” tanyaku mencoba membuka percakapan
“terserah”
jawabnya menyelesaikan percakapan
Jawaban
bagus dari Aila membuatku semakin tak karuan, bingung mau melakukan apa, untung
saja hpku sedang tidak ada pulsa, mungkin jika ada aku hanya memilih smsan dengan
Aila waktu itu.
Waktu
terus berjalan dan sepatah katapun tetap tak ada yang keluar. Tetapi aku
menikmatinya, dan aku harap Aila juga menikmatinya. Dalam diam aku mengetahui
banyak hal. Tentang Aila yang selalu memberikan anak kecil senyuman, tentang
Aila dan kulitnya yang menjadi merah ketika terkena panas, atau ketika dirinya
menatapku, aku tersadar bahwa aku selalu jatuh cinta dengan tatap itu.
Aku
masih tetap diam, dan Aila pun sama. Tanpa kata-kata kita terus berjalan sampai
akhirnya kita masuk ke museum wayang kulit. Di dalam terlihat banyak wayang
yang tersusun rapih. Hampir semua aku mengenali tokohnya, persis dengan yang
diceritakan oleh kakek ku. Saat sedang melihat-lihat, aku dan Aila sampai
kepada tokoh wayang yang bernama Drupadi, istri dari para pandawa. Seorang
wanita hebat yang terlahir dari api, lembut hatinya namun memiliki keteguhan
jiwa yang sangat kuat.
“dia
mirip kamu” ucapku dengan suara terkesan berbisik, bahkan tidak dapat terdengar
jika tidak fokus.
Sekilas
aku perhatikan Aila hanya tersenyum mendengar perkataanku, entah senang karena
dipuji atau senang karena ternyata aku tidaklah bisu. Aku dan Aila sangat
menikmati pemandangan di museum wayang, walaupun harus ku ingatkan tak ada
kata-kata yang keluar, namun kami tetap menikmatinya. Aku mengetahui Aila
menyukainya karena dia selalu tersenyum ketika aku melihatnya.
Jalan-jalan di museum ternyata membuat perut
Aila lapar. Akhirnya ia mengajak untuk makan. Percakapan pertama, yang dia
mulai duluan.
“makan
yuk” ucap Aila dengan tak melupakan senyumnya
“mau
makan apa?” tanyaku
“itu,
yang ada aja” ucapnya sambil menunjuk tukang nasi goreng di dekat museum
fatahilah
Akhirnya
kami makan di tempat nasi goreng. Abang penjualnya ramah, tapi menjadi terlihat
tegas karena kumis lebatnya. Disana tak
hanya kami, ada juga orang lain yang sedang memesan. Sepertinya mereka
berpacaran. Karena sang wanita terus memegang tangan si pria dan si pria terus
mengelus rambut si wanita. Selain itu si pria juga menjelma pujangga, selalu
diutarakannya kata-kata yang merupa sajak. Tapi dari pada terus melihat adegan
mereka, aku lebih memilih melihat senja di kota tua. Merasakan belaian lembut
angin sore sambil menyaksikan kumpulan burung gereja yang saling mengejar.
“hei,
aaaa coba” ucap Aila membuyarkan lamunanku, sementara ternyata pesanan ku pun sudah
ada di meja. masih bingung dengan diriku yang sering kali melamun, tiba-tiba Aila menyuruhku untuk membuka mulut karena ingin menyuapiku.
Aku
hanya menurut. Aila menyuapiku lalu tersenyum setelahnya. Aku merasakan
kehangatan pada dirinya. Cinta mungkin tak perlu terlalu diumbar dengan
kata-kata sayang ataupun dengan kado berlebihan. Cinta hanya cukup dirasakan
dan kau temukan damai didalamnya. Senja dan Aila, dua hal yang membuat hariku
sempurna. Seperti perkataanmu, tak ada sesuatu yang kebetulan. Setidaknya
terimakasih kau sempat hadir ketika itu. Dan kota tua kini selalu menjadi saksi
bisu, tentang diriku yang bisu kepada cinta.
0 komentar:
Posting Komentar