Minggu, 29 Oktober 2017

Kota Tua Bisu


Tidak ada sesuatu yang datang dengan kebetulan, begitu yang selalu kau katakan. Akupun percaya itu. Semua perjalanan sudah tertulis, kita hanya perlu percaya bahwa segalanya akan selalu menjadi indah. Persis dengan kisahku dulu bersama wanita dengan kuncir kuda, pendiam, terkesan jutek namun tidak masalah, karena waktu dulu aku mencintainya. Wanita yang kini menjadi kenangan disudut ruang perasaanku. Sebut saja dia Aila.

“Hai jutek, nanti jadi ya, ku tunggu di halte jam 1” tulisku lewat pesan singkat kepada kekasihku Aila,

Hari ini kita janjian untuk ngedate perdana. Aila merupakan pacar pertamaku. Menurutku Aila merupakan sosok wanita sangat baik. Alasannya sederhana, yaitu karena hanya dia yang mau kepadaku waktu itu. Padahal aku hanyalah pria dengan tingkat ketampanan rata-rata sekaligus nilai raport yang banyak merahnya.

“Iya sebentar lagi aku jalan” jawabnya setelah 10 menit ku kirim sms.

Mendapat sms mengatakan Aila ingin jalan malah membuatku sakit perut, mungkin semacam nervous. Ini adalah hal baru sekaligus merupakan yang pertama. Menyedihkan jika aku gagal dalam ngedate pertamaku karena diare. Selain jadi tidak keren, aku juga tidak mau kalau harus ngedate ke toilet umum.

Aku berusaha tak pedulikan sakit perutku dengan mengantongi batu dan bergegas berangkat ke halte transjakarta. Waktu itu pukul 12.18 wib, kemungkinan aku akan sampai duluan dari pada Aila. Aku gas motorku membelah angin yang berhembus dengan perasaan bahagia di hatiku.

Benar saja, ternyata aku sampai lebih dahulu. Aku perhatikan, halte di stasiun Transjakarta terlihat bersih, tidak ada sampah yang berserakkan, bahkan lantainya pun tidak terlihat kotor. Ditengah kesibukanku memperhatikan sekitar, tiba-tiba ada seseorang pria dengan tubuh kurus dan berbaju biru tersenyum kemudian menyapa ku

“Siang mas” ucapnya

“Eh iya mas, masih belum malam” Jawabku sambil becanda lalu kita berdua tertawa.

Setelah menyapa mas-mas karyawan transjakarta yang ramah itu, aku duduk di bangku yang telah di siapkan.

Menunggu ternyata membuatku melupakan tentang sakit perutku, bahkan pikiranku melayang pada adegan random yang tidak jelas seperti jika nanti aku ditampar, atau ditinggalkan, lalu putus. Aku bingung pada diriku sendiri, padahal menghayal itu bertujuan untuk menyenangkan diri sendiri. Tapi mengapa malah aku berkhayal jelek tentang diriku nanti. Selain itu, sebenarnya aku juga bisa membayangkan sesuatu yang meneyanangkan seperti jika wajah pacarku berubah menjadi seperti Raisa, Isyanya atau wanita yang namanya berakhiran “A” lainnya.

“Heh bengong aja” ucap wanita berkuncir kuda yang ku hafal baik suaranya.

Sial, aku tersihir oleh lamunanku sendiri. Tanpa sadar Aila sudah sampai dan ada disampingku, sejujurnya tidak hanya Aila yang sampai. Saat itu sampai pula diriku kepada moment tercanggung, kata-kata seakan susah untuk keluar lidahku pun seakan kelu. Dasar pria lemah.

Untuk kedua kalinya aku bilang ini adalah ngedate pertamaku, dan tempat yang ku pilih untuk menghabiskan waktu berlama-lama berdua adalah kota tua dibilangan Jakarta pusat. Entah apa yang ku pikirkan, tapi sepertinya waktu itu hanya kota tua yang ku tau tempatnya. Mungkin selain ingin menghabiskan waktu berdua akupun ingin sekalian mengenang jasa para pahlawan yang telah mencurahkan djiwa dan raganya untuk NKRI, demi merdekanya Indonesia Raya tercinta. Sebelum menjadikan cerita ini sebagai kisah perjuangan, lebih baik ku kembalikan kepada waktu perjalanan ku ke kota tua

“hehehehehehe” hanya cengegesan, mungkin itu hal terbaik yang bisa ku berikan. Mulutku seakan bungkam saat bersama Aila. Ia pun hanya memilih diam, tapi Aila memanglah seorang yang pendiam, berbeda denganku yang biasanya banyak omong kepada siapa saja. Ibu-ibu kantin, satpam sekolah, bahkan tadi juga sempat bercanda dengan penjaga transjakarta. Sesuatu yang aku yakini sampai sekarang ialah saat itu aku dirasuki setan bisu. Ya  semua hal dapat terjadi bukan?

Perjalananku ke kota tua dapat terbilang sangat menyenangkan, aku berdiri dari stasiun ragunan hingga kota tua. Ku kira saat weekend tidak akan seramai ini, tapi entah hari itu ada apa. Lagi pula tak hanya masalah berdiri, selama perjalanan pun aku hanya bisa sekedar menatap mata Aila dan tetap diam karena tidak tau ingin berbicara apa. Menyenangkan bukan? Menurutku waktu itu. Ya. Itu sangat menyenangkan, aku dapat memandang wajah kekasihku berlama-lama, menikmati tiap pesonanya dan merasakan betapa beruntungnya aku memiliki dirinya. Tapi jika aku mengingat hal itu lagi, aku tak heran mengapa betisku menjadi seperti sekarang.

Hanya butuh satu jam untuk sampai ke kota tua. Pemandangan bangunan klasik jaman pemerintahan Belanda sangatlah mengesankan. Batu besar berbentuk bola di tempatkan di pinggir jalan raya. Trotoar untuk para pejalan kaki dibuat dengan batu yang berbeda daripada di jalanan biasanya, aku tidak tahu bahannya apa, bukan tukang batu soalnya. Lalu di sepanjang jalanpun berbagai pedagang juga ikut tersusun rapi. Mulai dari tukang tattoo, makanan, jasa ramal taroot sampai penjual makanan yang berattoo dan meramal taroot, semua ada.

Sesampainya disana hal yang ku lakukan adalah “bingung” itupun masih tetap dalam keadaan diam. Pertama aku bingung harus kemana atau melakukan apa, kedua aku tetap diam karena akupun masih belum tau harus berbicara apa. Disana aku hanya mengandalkan instingku sebagai pria untuk melakukan hal yang menarik. Hal yang paling menarik yang ku pilih waktu itu ialah duduk di dekat senjata meriam depan museum Fatahilah.

“mau kemana?” tanyaku mencoba membuka percakapan

“terserah” jawabnya menyelesaikan percakapan

Jawaban bagus dari Aila membuatku semakin tak karuan, bingung mau melakukan apa, untung saja hpku sedang tidak ada pulsa, mungkin jika ada aku hanya memilih smsan dengan Aila waktu itu.

Waktu terus berjalan dan sepatah katapun tetap tak ada yang keluar. Tetapi aku menikmatinya, dan aku harap Aila juga menikmatinya. Dalam diam aku mengetahui banyak hal. Tentang Aila yang selalu memberikan anak kecil senyuman, tentang Aila dan kulitnya yang menjadi merah ketika terkena panas, atau ketika dirinya menatapku, aku tersadar bahwa aku selalu jatuh cinta dengan tatap itu.

 

Aku masih tetap diam, dan Aila pun sama. Tanpa kata-kata kita terus berjalan sampai akhirnya kita masuk ke museum wayang kulit. Di dalam terlihat banyak wayang yang tersusun rapih. Hampir semua aku mengenali tokohnya, persis dengan yang diceritakan oleh kakek ku. Saat sedang melihat-lihat, aku dan Aila sampai kepada tokoh wayang yang bernama Drupadi, istri dari para pandawa. Seorang wanita hebat yang terlahir dari api, lembut hatinya namun memiliki keteguhan jiwa yang sangat kuat.

“dia mirip kamu” ucapku dengan suara terkesan berbisik, bahkan tidak dapat terdengar jika tidak fokus.

Sekilas aku perhatikan Aila hanya tersenyum mendengar perkataanku, entah senang karena dipuji atau senang karena ternyata aku tidaklah bisu. Aku dan Aila sangat menikmati pemandangan di museum wayang, walaupun harus ku ingatkan tak ada kata-kata yang keluar, namun kami tetap menikmatinya. Aku mengetahui Aila menyukainya karena dia selalu tersenyum ketika aku melihatnya.

 Jalan-jalan di museum ternyata membuat perut Aila lapar. Akhirnya ia mengajak untuk makan. Percakapan pertama, yang dia mulai duluan.

“makan yuk” ucap Aila dengan tak melupakan senyumnya

“mau makan apa?” tanyaku

“itu, yang ada aja” ucapnya sambil menunjuk tukang nasi goreng di dekat museum fatahilah

Akhirnya kami makan di tempat nasi goreng. Abang penjualnya ramah, tapi menjadi terlihat tegas karena kumis lebatnya. Disana  tak hanya kami, ada juga orang lain yang sedang memesan. Sepertinya mereka berpacaran. Karena sang wanita terus memegang tangan si pria dan si pria terus mengelus rambut si wanita. Selain itu si pria juga menjelma pujangga, selalu diutarakannya kata-kata yang merupa sajak. Tapi dari pada terus melihat adegan mereka, aku lebih memilih melihat senja di kota tua. Merasakan belaian lembut angin sore sambil menyaksikan kumpulan burung gereja yang saling mengejar.

“hei, aaaa coba” ucap Aila membuyarkan lamunanku, sementara ternyata pesanan ku pun sudah ada di meja. masih bingung dengan diriku yang sering kali melamun, tiba-tiba Aila menyuruhku untuk membuka mulut karena ingin menyuapiku.

Aku hanya menurut. Aila menyuapiku lalu tersenyum setelahnya. Aku merasakan kehangatan pada dirinya. Cinta mungkin tak perlu terlalu diumbar dengan kata-kata sayang ataupun dengan kado berlebihan. Cinta hanya cukup dirasakan dan kau temukan damai didalamnya. Senja dan Aila, dua hal yang membuat hariku sempurna. Seperti perkataanmu, tak ada sesuatu yang kebetulan. Setidaknya terimakasih kau sempat hadir ketika itu. Dan kota tua kini selalu menjadi saksi bisu, tentang diriku yang bisu kepada cinta.

 

0 komentar:

Posting Komentar