Pages

    Sabtu, 23 Juni 2018

    Hilang Kesadaran


    Kali ini tidak ada ungkapan matahari bersinar dalam pembuka tulisan. Tidak ada yang bersinar kecuali remang dari bola lampu di atas kepalaku yang saat ini terus mengawang pada keresahan yang akhir-akhir ini ku hadapi. Resah akan agamaku, negaraku, atau keakraban yang sudah hilang entah kemana.

    Awalnya, kupikir esensi yang menghilang, namun nyatanya yang tidak ku temukan adalah kesadaran. Kesadaran ku sebagai mahluk beragama, sebagai warga negara ataupun sebagai mahluk sosial. Semuanya hilang dengan lemahnya kesadaran dibagaian mana harus bersikap.

    "Ngga nasionalis lu. Dasar mayoritas," ucap si minoritas

    "Minoritas hormatin yang mayoritas dong," kata si mayoritas

    "Saya itu sering diandaikan seperti Abu Bakar ra," ucap seorang yang sedang kampanye

    "Ahh lu dikatain begitu aja baper," ucap seorang teman

    Saat ini kita masuk tahun politik, jaman sekarang akun-akun hijrah bertebaran dimana-mana, Jaman now banyak manusia terlalu bodoh untuk menentukan topik bercandaan dan teman untuk bercandaan. Masalah itu semua saling bertautan sehingga menjadi kompleks. Oknum politisi menunggangi agama untuk kekuasaan. Akun yang "mengaku" menyuarakan agamaku malah teriak ucapan yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Teman-temanku yang muak dengan semuanya, menjadikan itu bahan candaan seperti menyulut api untuk saling bertikam.

    Semua yang ada di kepala menjadi meresahkan dan menyusahkan. Tiga kelompok sudah mulai menalak persatuan Indonesia. Keadilan dan Kehormatan Negara yang sudah berkurang ini, rasanya akan ditambah lagi dengan kurang ketentraman di Negaraku.

    "Tulisan ini hanya melihat sisi negatifnya"

    Memang segalanya memiliki sisi positif dan negatif. Namun jangka panjang dari hal negatif ini. Apa yang diharapkan dari perpecahan? Jawabnya hanya keterpurukan. Namun bukan hanya itu, masalah selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan.

    Sesuatu yang saat ini ku harapkan adalah sebelum adanya keterpurukan, manusia Indonesia sudah dapat menumbuhkan kesadaran diri yang telah lama menghilang.

    Kesadaran bahwa kita mahluk beragama. Maka beragamalah sesuai dengan ajaranmu. Aku tidak mengatakan bahwa yang dilakukan salah, tapi aku merasa dakwah yang sesuai untuk masyarakat Indonesia adalah dengan menunjukan kebaikan dari perilaku seperti yang sudah berhasil ditunjukan oleh leluhur kita.

    Kesadaran bahwa kita Indonesia. Pancasila mengajarkan kita untuk beragama; Jadi untuk boneka politisi yang kini harus saya katakan seperti kotoran yang rapih. "Stop meremehkan masalah keagamaan kami, dan berhentilah memecah kami. Kami terus mempelajari agama kami."Selama ini, tanah surga hanya untuk penguasa, manusianya hanya dapat dijajah saja. Bukan kah begitu? Kau lahir di tanah ini bukan? Bukankah orang belakang yang menyuruhmu hanya memperlakukanmu sebagai babu? Seharusnya di tanah ini, kitalah yang menjadi tuannya. Kenapa kau malah menghianatinya?

    Kesadaran bahwa kita merupakan saudara. Mungkin kita tidak sedarah, bisa jadi kita tidak seiman, tapi yang pasti kita saudara dalam kemanusian. Tidakkah cukup untuk kita saling berperang dan mengerti saudara kita? Mungkinkah kita mampu tempatkan kepada siapa sebuah kata harus terucap? Setauku agama kita tidak memecah belah. Namun saat ini politisi yang membuatnya payah. Sudahlah, anggap saja mereka kera.

    Tulisan ini semakin membuat gemas karena menggelitik nuraniku. Tidak semua dalam tulisan ini benar, tapi setidaknya kumohon untuk kita berjuang mengukapkan kebenaran dari sebuah kebaikan sikap dan perilaku. Bukan hanya dari omongan.

    Aku mohon

    Aku mohon

    Aku mohon

    Senin, 04 Juni 2018

    Menjadi Nabi

    “Aku ingin menjadi Nabi,”
    Aku mengatakan hal tersebut dengan lantang di hadapan semua orang. Waktu itu aku masih kelas dua SMP. Tepatnya di mata pelajaran agama. Semua murid ditanyai perkara impian mereka. Kata guruku, semua cita-cita bagus jika melakukannya di jalan Tuhan.
    Aku mendengar beberapa jenis bunyi yang tercipta dari teman-temanku yang menahan tawa. Tapi berbeda dengan guru yang menatapku. Matanya memerah, dan rahang dagunya nampak tegang setelah mendengar jawabanku. Guruku serupa gunung yang siap meletuskan laharnya dan melahapku hingga sampai ke tulang-tulang.
    “Kau tidak akan bisa menjadi Nabi. Siapa yang mengajarimu?!”
    Suaranya membentak dan menggetarkan nyali semua murid, kecuali diriku. Lahar yang disemburkannya tak akan mampu melelehkan diriku. Aku masih berdiri dan bernyali dengan kebenaran yang ku miliki. Jika keyakinanku melemah karena cacian maka aku harus malu kepada diriku sendiri.
    “Heh sesat! Siapa yang mengajarimu?!” tanyanya sekali lagi dengan semburat hinaan yang disisipkan di depan perkataannya.
    “Bapak yang sedang mengajariku sekarang,”
    Dari mulutnya kulihat guruku sedang kumat-kamit, entah apa yang dirapalkannya. Mata kurang simpati itu memandangiku seumpanya diriku hanyalah seongok dosa yang dibalut dengan daging. Merasa paling benar ketika mendapati seseorang yang melakukan kesalahan.
    “Kamu dihukum, berdiri di luar dengan satu kaki anak sesat!” hardiknya sekali lagi
    “Aku salah apa?”
    “Kau sesat!”
    “Kenapa bapak menyebutku sesat?”
    “Karena kau ingin menjadi Nabi.”
    “Memang kenapa kau melarangku?”
    “Cepat keluar sebelum aku menamparmu!”
    Sudah sering aku mengalami kejadian seperti ini, dan setelahnya aku akan selalu berpikir mengapa karena hal ini aku kerap dimarahi. Perseteruanku tidak hanya kali ini. Pernah disuatu waktu aku dipukul oleh guru ngajiku dengan sebuah sapu lidi karena mengetahui impianku yang ingin menjadi Nabi.
    Aku masih merasa stampel sesat yang orang banyak berikan kepadaku tak lebih hanya karena mereka iri. Rata-rata keinginan mereka hanyalah profesi dunia. Berbeda dengan diriku yang memiliki impian lebih luas dari dunia dan seisinya. Aku yakin diriku tidak sesat, aku hanya ingin menjadi Nabi. Setiap hari, setiap setelah sholat, di sepertiga malam, aku selalu menitikan airmataku dan berharap kepadaNya untuk bisa menjadi Nabi.
    Aku melangkahkan diriku keluar bersama dengan impian yang nurani yang masih sama dengan sebelumnya. Aku berdiri menghadap lapangan upacara yang beratapkan langit yang juga lapang. Ku pindahkan pandanganku ke arah lain dan ku dapati seekor kucing kecil mengeong sambil berjalan kearahku.
    “Mengapa mengeong? Lapar?” tanyaku kepada sang kucing
    “Jangan sok tau,”
    “Lalu?”
    “Sedang menertawaimu yang berdiri satu kaki, padahal Tuhan memberikanmu dua,”
    “Aku sedang dihukum,”
    “Karena apa?” tanyanya
    “Karena aku ingin jadi Nabi,”
    “Bodoh kau ini, Nabi itu manusia pilihan,”
    “Sejak kapan Tuhan pilih kasih?”
    Kucing itu bungkam menelan pertanyaanku. Tidak lagi ada suara mengeong yang keluar. Dia berjalan menjauh dariku, menundukan kepala dan hilang menjadi sia-sia. Biar rasa kucing sok tau itu, dia pikir dengan siapa dirinya sedang berbicara. Mahluk yang derajatnya di tinggikan karena diberikan akal.
    Di tengah hukuman yang sedang ku jalani, guruku yang sebelumnya membentakku menyuruh untuk diriku masuk kembali. Mata geram yang sebelumnya diperlihatkan, kini tak lagi menunjukan buasnya. Mungkinkah guruku sudah dapat menerima keinginanku?
    “Kau sudah menyesali perbuatanmu?” Ternyata belum ada penerimaan apapun. Dirinya tetap menganggap cita-citaku sebagai sebuah kesalahan.
    “Aku tidak perlu menyesali apapun.”
    “Dasar pengikut setan!” umpatnya
    Sebentar saja suasana yang kupikir telah damai seakan sirna dengan umpatan yang tidak selayaknya. Aku jadi penasaran bagaimana seorang guru agama dapat mengatakan hal yang begitu tak pantas keluar dari mulut orang beriman. Apakah dia pikir keagaman hanya secara ritual tanpa memikirkan apa yang ada di dalam dirinya?
    Guruku seperti kehabisan akal menghadapiku. Mungkin dipikirnya aku ini keturunan Dajjal yang siap untuk meruntuhkan iman-iman manusia. Padahal pada dasarnya terbuainya manusia memang karena tidak memiliki kecintaan terhadap Tuhannya saja.
    “Kau sudah sepatutnya bertaubat dari kesesatan!” katanya dengan suara yang meninggi
    “Kau yang harus bertaubat!” balasku ikut meninggi juga
    Tidaklah seseorang akan mendapatkan sebuah penghormatan jika dirinya tidak memberikan rasa hormatnya kepada orang lain. Hal tersebut yang sedang ku coba ajarkan kepada guruku itu. Dia tidak bisa terus menghinaku dengan perkataan kotor seperti itu. Setiap orang boleh memiliki cita-citanya sendiri.
    Namun pelajaran yang sedang kuberikan sepertinya tidak masuk dalam otaknya yang sudah tumpul itu. Dia malah terus mencaciku dengan mulut comberannya.
    “Kau memang tau apa tentang agama?” Nada sombong itu menari-nari di telingaku, aku sangat benci dengan getaran busuk yang masuk ke telingaku seperti itu.
    “Kau memang tau apa tentang agama?”
    Pertanyaanku yang mengulangi pertanyaannya malah dibalas dengan sebuah hadiah telapak tangan yang mendarat di pipi kananku. Suaranya begitu nyaring dan pipiku terasa begitu perih. Aku ingin sekali membalasnya, namun tidak mungkin seorang yang bercita-cita menjadi Nabi berani memukul seorang yang memberikan ilmu.
    “Kau memang tau apa tentang agama?” tanyaku untuk kedua kali dan guruku itu rasanya sudah sampai di puncak geramnya.
    “Aku Guru Agama. Aku paham menyoal agama.” Pernyataan itu begitu percaya diri dan tumbuh dari kesombongan yang selama ini di tutupinya.
    “Lalu bagaimana kau bisa kau melakukan perbuatan munkar sedangkan Allah mengajarkan untuk berbuat Ma’ruf?”
    “Orang sesat sepertimu tidak masalah jika harus diperlakukan seperti itu,” jawabnya
    “Dimana letak sesatku wahai guruku yang berpengetahuan luas?” Sarkasme, tentu saja hal tersebut kadang harus ku gunakan.
    “Kau sesat. Berkeinginan menjadi Nabi, padahal Allah SWT sudah menjadikan Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir. Apa kau tau itu?” intonasinya masih tetap meninggi
    “Lalu dimana letak salahku?”
    “Jelas, kau tidak bisa menjadi Nabi bodoh!”
    “Memang tidak bisa, lalu apa masalahnya? Ini keinginanku. Aku hanya ingin menjadi Nabi,” kataku. “Aku hanya ingin menjadi muslim yang sesungguhnya,” tambahku seperti sebuah badai yang menyapu keangkuhan dari wajahnya yang saat itu layu.
    Ku pikir guruku haruslah lebih bijaksana dalam memahami sebuah pemikiran. Sebab di dalamnya hanya ada sesuatu bersifat abstrak yang hanya si pemikir dan Tuhan yang mengetahui. Hanya kehancuran yang didapatkan jika merasa menjadi pemegang kebenaran.
    Keinginanku hanyalah menjadi Nabi. Mengikuti setiap langkah yang terus menuntun diriku kepada Esa. Menjadi Islam yang humanis, dengan memanusiakan manusia. Bukan seorang yang egois melainkan kesatria yang mampu meluruhkan ke-aku-annya. Menebar kebenaran lewat cinta bukan dengan angkara. Oleh karenanya aku ingin menjadi Nabi.

    Minggu, 07 Januari 2018

    Tidak Membela Agamaku

    Perkara perkataan yang menjadi kehancuran kehidupan. Tak heran, manusia sekarang hanya berpikir untuk mewujudkan perkataan. Bukan berpikir sebelum berkata. Alih-alih menjadi damai, semuanya malah nampak keruh. Tulisan ini ku buat bagi mereka yang kerap menyebarkan kebencian baik di perkataan ataupun di tulisan. Baik secara langsung ataupun sosial media seperti youtube, instagram dan lain-lain.

    Tulisan ini ku buat untuk mengajak semuanya, stop mengumbar kebencian. Mempertahankan perkara agama dengan omongan-omongan kasar yang bertujuan membela agama. Bukankah meletakkan kebenaran juga harus di tempatnya? Bagimana ketika dulu dalam perang, sholat dilakukan tepat pada waktunya karena tujuan dari perang tersebut adalah untuk menegakkan sholat. Mereka memperjuangkan kebenaran dengan tidak meninggalkan kebenaran itu sendiri. Lalu apa bisa kita mengumpat untuk menunjukkan kebesaran agamamu? Ku rasa tidak seperti itu. Bagaimana mungkin cahaya Islam dapat mucul dari orang yang berteriak bangsat, kafir dan sebagainya? Tidak ada kebencian dari sebuah jihad. Tujuan dari jihad dahulunya adalah untuk menjaga keharmonisan. Bukan dengan memperkeruh yang sudah keruh.

    Tidak hanya hal tersebut, kita juga dibuat terhibur dengan comedian-comedian yang seenaknya memainkan agama sebagai bahan lelucon. Apakah sudah kehabisan materi sampai-sampai masalah agama juga harus dibawa? Jika kami sebagai pengangut agama dirasa tidak bisa menunjukkan kebaikkan agama kami, ku mohon jadikan kami saja sebagai bahan, jangan agama kami. Selama ini kami hidup dan bernafas bahwa agama kami adalah tentang kedamaian. Jangan kembali membuat kami merasa tersakiti setelah kemarin keyakinan kami sempat di anggap sebagai pembodohan. Toh masih banyak materi yang bisa di jadikan bahan candaan, salah satunya dirimu sendiri yang bahkan tidak memiliki pengetahuan bahkan tentang pertanyaan: “mengapa kotoran kambing, kerbau dan kuda berbeda padahal mereka semua memakan rumput?” Jujur saja, kita semua bodoh. Tidaklah lebih bodoh lagi ketika seseorang yang pengetahuannya hanya seperti setetes air, dan tetesan air itu mencoba untuk memperolok samudra?

    Dalam tulisan ini aku tidak sedang membela agamaku apalagi membela Allah. Lagi pula, bagaimana bisa? Toh selama ini aku adalah seseorang yang kerap di bela oleh Agama dan Allah. Ku rasa akan menjadi kesombongan bagiku jika aku mengatakan aku membelaNya.

    Dalam tulisan ini, aku hanya ingin melindungi adik-adikku. Aku tidak ingin pemikiran mereka terjebak dengan pemahaman kalian. Aku tidak ingin mereka mengikuti jejak para public figure yang sebenarnya tidaklah patut untuk dijadikan panutan. Bagaimana mungkin aku akan membiarkan mereka untuk menghalalkan sebuah keharaman dengan alasan demi menunjukkan sebuah kebenaran. Bagaimana bisa aku biarkan mereka untuk membuat bahan lawakan dengan ajaran hidup yang akan menolong mereka menjadi kehidupan?

    Untuk adik-adikku maafkan kakakmu, kami masih sering berseteru sampai lupa untuk mendidikmu. Doakan kakakmu untuk segera lepas dari jeratan ego yang mengikatnya, agar nantinya dapat bermain kembali dengan adik-adik lucunya.




    Minggu, 03 Desember 2017

    Dialog Dengan Rembulan

    Malam ini langit ikut menyenangkan karena purnama. Sebenarnya tadi aku hampir mencuri warnanya. Ingin ku simpan, untuk nantinya ku serahkan kepada pujaan. Sesaat aku akan mengambilnya, bulan malah bertanya mau ku apa.
    Ku jawab saja
    "Aku ingin memberikan binarmu untuk kekasihku"

    Bintang disekitarnya sempat heran melihat kebodohan lelaki gila yang berpikir dapat mencuri pesona purnama.
    Rembulan yang tertarik oleh jawabanku, bertanya lagi "Kenapa kau mau melakukan ini?" 
    Aku bingung ditanya mengapa, jadi ku jawab saja seadanya "Sesungguhnya akupun tak tau ini untuk apa, tapi inginku hanya agar kekasihku bahagia"

    Bulan dan bintang lalu tertawa bersama, aku jadi heran gelak tawa ini karena apa.

    Membaca kebingunganku, rembulan berkata "Kalau kau pikir dengan memberikan binarku dia akan bahagia? Kau salah anak muda. Coba lihat kekasihmu itu dari sini, bukankah dirinya jauh lebih bercahaya dari pada apa yang kami punya?"

    Minggu, 29 Oktober 2017

    Kota Tua Bisu


    Tidak ada sesuatu yang datang dengan kebetulan, begitu yang selalu kau katakan. Akupun percaya itu. Semua perjalanan sudah tertulis, kita hanya perlu percaya bahwa segalanya akan selalu menjadi indah. Persis dengan kisahku dulu bersama wanita dengan kuncir kuda, pendiam, terkesan jutek namun tidak masalah, karena waktu dulu aku mencintainya. Wanita yang kini menjadi kenangan disudut ruang perasaanku. Sebut saja dia Aila.

    “Hai jutek, nanti jadi ya, ku tunggu di halte jam 1” tulisku lewat pesan singkat kepada kekasihku Aila,

    Hari ini kita janjian untuk ngedate perdana. Aila merupakan pacar pertamaku. Menurutku Aila merupakan sosok wanita sangat baik. Alasannya sederhana, yaitu karena hanya dia yang mau kepadaku waktu itu. Padahal aku hanyalah pria dengan tingkat ketampanan rata-rata sekaligus nilai raport yang banyak merahnya.

    “Iya sebentar lagi aku jalan” jawabnya setelah 10 menit ku kirim sms.

    Mendapat sms mengatakan Aila ingin jalan malah membuatku sakit perut, mungkin semacam nervous. Ini adalah hal baru sekaligus merupakan yang pertama. Menyedihkan jika aku gagal dalam ngedate pertamaku karena diare. Selain jadi tidak keren, aku juga tidak mau kalau harus ngedate ke toilet umum.

    Aku berusaha tak pedulikan sakit perutku dengan mengantongi batu dan bergegas berangkat ke halte transjakarta. Waktu itu pukul 12.18 wib, kemungkinan aku akan sampai duluan dari pada Aila. Aku gas motorku membelah angin yang berhembus dengan perasaan bahagia di hatiku.

    Benar saja, ternyata aku sampai lebih dahulu. Aku perhatikan, halte di stasiun Transjakarta terlihat bersih, tidak ada sampah yang berserakkan, bahkan lantainya pun tidak terlihat kotor. Ditengah kesibukanku memperhatikan sekitar, tiba-tiba ada seseorang pria dengan tubuh kurus dan berbaju biru tersenyum kemudian menyapa ku

    “Siang mas” ucapnya

    “Eh iya mas, masih belum malam” Jawabku sambil becanda lalu kita berdua tertawa.

    Setelah menyapa mas-mas karyawan transjakarta yang ramah itu, aku duduk di bangku yang telah di siapkan.

    Menunggu ternyata membuatku melupakan tentang sakit perutku, bahkan pikiranku melayang pada adegan random yang tidak jelas seperti jika nanti aku ditampar, atau ditinggalkan, lalu putus. Aku bingung pada diriku sendiri, padahal menghayal itu bertujuan untuk menyenangkan diri sendiri. Tapi mengapa malah aku berkhayal jelek tentang diriku nanti. Selain itu, sebenarnya aku juga bisa membayangkan sesuatu yang meneyanangkan seperti jika wajah pacarku berubah menjadi seperti Raisa, Isyanya atau wanita yang namanya berakhiran “A” lainnya.

    “Heh bengong aja” ucap wanita berkuncir kuda yang ku hafal baik suaranya.

    Sial, aku tersihir oleh lamunanku sendiri. Tanpa sadar Aila sudah sampai dan ada disampingku, sejujurnya tidak hanya Aila yang sampai. Saat itu sampai pula diriku kepada moment tercanggung, kata-kata seakan susah untuk keluar lidahku pun seakan kelu. Dasar pria lemah.

    Untuk kedua kalinya aku bilang ini adalah ngedate pertamaku, dan tempat yang ku pilih untuk menghabiskan waktu berlama-lama berdua adalah kota tua dibilangan Jakarta pusat. Entah apa yang ku pikirkan, tapi sepertinya waktu itu hanya kota tua yang ku tau tempatnya. Mungkin selain ingin menghabiskan waktu berdua akupun ingin sekalian mengenang jasa para pahlawan yang telah mencurahkan djiwa dan raganya untuk NKRI, demi merdekanya Indonesia Raya tercinta. Sebelum menjadikan cerita ini sebagai kisah perjuangan, lebih baik ku kembalikan kepada waktu perjalanan ku ke kota tua

    “hehehehehehe” hanya cengegesan, mungkin itu hal terbaik yang bisa ku berikan. Mulutku seakan bungkam saat bersama Aila. Ia pun hanya memilih diam, tapi Aila memanglah seorang yang pendiam, berbeda denganku yang biasanya banyak omong kepada siapa saja. Ibu-ibu kantin, satpam sekolah, bahkan tadi juga sempat bercanda dengan penjaga transjakarta. Sesuatu yang aku yakini sampai sekarang ialah saat itu aku dirasuki setan bisu. Ya  semua hal dapat terjadi bukan?

    Perjalananku ke kota tua dapat terbilang sangat menyenangkan, aku berdiri dari stasiun ragunan hingga kota tua. Ku kira saat weekend tidak akan seramai ini, tapi entah hari itu ada apa. Lagi pula tak hanya masalah berdiri, selama perjalanan pun aku hanya bisa sekedar menatap mata Aila dan tetap diam karena tidak tau ingin berbicara apa. Menyenangkan bukan? Menurutku waktu itu. Ya. Itu sangat menyenangkan, aku dapat memandang wajah kekasihku berlama-lama, menikmati tiap pesonanya dan merasakan betapa beruntungnya aku memiliki dirinya. Tapi jika aku mengingat hal itu lagi, aku tak heran mengapa betisku menjadi seperti sekarang.

    Hanya butuh satu jam untuk sampai ke kota tua. Pemandangan bangunan klasik jaman pemerintahan Belanda sangatlah mengesankan. Batu besar berbentuk bola di tempatkan di pinggir jalan raya. Trotoar untuk para pejalan kaki dibuat dengan batu yang berbeda daripada di jalanan biasanya, aku tidak tahu bahannya apa, bukan tukang batu soalnya. Lalu di sepanjang jalanpun berbagai pedagang juga ikut tersusun rapi. Mulai dari tukang tattoo, makanan, jasa ramal taroot sampai penjual makanan yang berattoo dan meramal taroot, semua ada.

    Sesampainya disana hal yang ku lakukan adalah “bingung” itupun masih tetap dalam keadaan diam. Pertama aku bingung harus kemana atau melakukan apa, kedua aku tetap diam karena akupun masih belum tau harus berbicara apa. Disana aku hanya mengandalkan instingku sebagai pria untuk melakukan hal yang menarik. Hal yang paling menarik yang ku pilih waktu itu ialah duduk di dekat senjata meriam depan museum Fatahilah.

    “mau kemana?” tanyaku mencoba membuka percakapan

    “terserah” jawabnya menyelesaikan percakapan

    Jawaban bagus dari Aila membuatku semakin tak karuan, bingung mau melakukan apa, untung saja hpku sedang tidak ada pulsa, mungkin jika ada aku hanya memilih smsan dengan Aila waktu itu.

    Waktu terus berjalan dan sepatah katapun tetap tak ada yang keluar. Tetapi aku menikmatinya, dan aku harap Aila juga menikmatinya. Dalam diam aku mengetahui banyak hal. Tentang Aila yang selalu memberikan anak kecil senyuman, tentang Aila dan kulitnya yang menjadi merah ketika terkena panas, atau ketika dirinya menatapku, aku tersadar bahwa aku selalu jatuh cinta dengan tatap itu.

     

    Aku masih tetap diam, dan Aila pun sama. Tanpa kata-kata kita terus berjalan sampai akhirnya kita masuk ke museum wayang kulit. Di dalam terlihat banyak wayang yang tersusun rapih. Hampir semua aku mengenali tokohnya, persis dengan yang diceritakan oleh kakek ku. Saat sedang melihat-lihat, aku dan Aila sampai kepada tokoh wayang yang bernama Drupadi, istri dari para pandawa. Seorang wanita hebat yang terlahir dari api, lembut hatinya namun memiliki keteguhan jiwa yang sangat kuat.

    “dia mirip kamu” ucapku dengan suara terkesan berbisik, bahkan tidak dapat terdengar jika tidak fokus.

    Sekilas aku perhatikan Aila hanya tersenyum mendengar perkataanku, entah senang karena dipuji atau senang karena ternyata aku tidaklah bisu. Aku dan Aila sangat menikmati pemandangan di museum wayang, walaupun harus ku ingatkan tak ada kata-kata yang keluar, namun kami tetap menikmatinya. Aku mengetahui Aila menyukainya karena dia selalu tersenyum ketika aku melihatnya.

     Jalan-jalan di museum ternyata membuat perut Aila lapar. Akhirnya ia mengajak untuk makan. Percakapan pertama, yang dia mulai duluan.

    “makan yuk” ucap Aila dengan tak melupakan senyumnya

    “mau makan apa?” tanyaku

    “itu, yang ada aja” ucapnya sambil menunjuk tukang nasi goreng di dekat museum fatahilah

    Akhirnya kami makan di tempat nasi goreng. Abang penjualnya ramah, tapi menjadi terlihat tegas karena kumis lebatnya. Disana  tak hanya kami, ada juga orang lain yang sedang memesan. Sepertinya mereka berpacaran. Karena sang wanita terus memegang tangan si pria dan si pria terus mengelus rambut si wanita. Selain itu si pria juga menjelma pujangga, selalu diutarakannya kata-kata yang merupa sajak. Tapi dari pada terus melihat adegan mereka, aku lebih memilih melihat senja di kota tua. Merasakan belaian lembut angin sore sambil menyaksikan kumpulan burung gereja yang saling mengejar.

    “hei, aaaa coba” ucap Aila membuyarkan lamunanku, sementara ternyata pesanan ku pun sudah ada di meja. masih bingung dengan diriku yang sering kali melamun, tiba-tiba Aila menyuruhku untuk membuka mulut karena ingin menyuapiku.

    Aku hanya menurut. Aila menyuapiku lalu tersenyum setelahnya. Aku merasakan kehangatan pada dirinya. Cinta mungkin tak perlu terlalu diumbar dengan kata-kata sayang ataupun dengan kado berlebihan. Cinta hanya cukup dirasakan dan kau temukan damai didalamnya. Senja dan Aila, dua hal yang membuat hariku sempurna. Seperti perkataanmu, tak ada sesuatu yang kebetulan. Setidaknya terimakasih kau sempat hadir ketika itu. Dan kota tua kini selalu menjadi saksi bisu, tentang diriku yang bisu kepada cinta.

     

    Kamis, 27 April 2017

    Bosan

    Bosan. Layar televisi ataupun smartphone sama saja. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta merupa sajian utama semua media Nasioal maupun Indipendent. Tak hanya itu, story instagram dan akun media sosial pun sama. Berbagai macam jari dan bekas tinta menjadi tren. Ditambah lagi dengan caption kebangsaannya. Caper. Cerita tak habis sampai situ, pasangan nomor urut 3 memenangi hasil quick count. Lalu berbagai tulisan mulai muncul satu persatu, mulai dari kalimat takbir hingga kalimat kecewa atas hasil pemilihan. Dunia selalu saja berselisih. Basi.
    Ditengah kebosanan gue menjadikan diri sebagai penonton. Kali ini gue mau apatis dengan Negeri ini. Kali ini gue ngga kenal dengan moto “satu suara menentukan Jakarta.” Semua fana, tidak kah semua hanya karangan belaka yang membuat rakyat menjadi kerdil dan bodoh? Kita berseteru dengan semua yang di jejalkan media. bersungut memberi penilaian bahwa yang baik ialah dia dan dialah yang munafik. Berdebat kalau pilihan kamu itu salah, seharusnya pilih ini. Mencoba mengambil hati warga dengan agama. Melakukan intervensi tentang pemahaman jangan mau dibodohi ajaran agama. Semua begitu menjijikan. Sesuatu yang pasti ialah: GUE MENDING GOLPUT, BODO. Siapa yang akan kau percaya? Penista agamamu atau penjual agamamu? Bukankah keduanya melakukan demi kekuasaan? Jika mereka mengatakan untuk rakyat, seluruh orang yang berada di partai politiknya juga masyarakat. Imigran-imigran pun juga disebut rakyat.
    Tulisan ini membosankan, gue sangat setuju. Gue mikirinnya saat bosan, sambil marah sekaligus tiduran. Sangat menjengkelkan mengetahui Negara diisi oleh orang munafik. Media nasional sudah memenuhi kepentingan penguasa. Media independent hanya mengatakan apa yang mereka lihat. Bukankah mata selalu tertipu? Sekarang lihat si Anu yang menang, mana lagi yang berkoar untuk meminta penista agama di tangkap? Saya sangat menunggunya. Terlepas dari politik dan pembangunan yang entah buat siapa, saya tidak menyukainya karena menista agama saya. Ini subjektif. Tapi jangan khawatir, saya juga tak suka yang satu lagi, karena seperti alasan tadi. Saya tak suka agama saya dijual demi kepentingan. Kembali ke topik, kini yang terjadi ketika sesuatu terjadi, lalu sebuah masalah selesai. Permainan politik, pengalihan isu dan sebagainya. Seharusnya masyarakat sudah cukup cerdas untuk mengamati itu semua. Si Anu menang? Siapa yang memenangkan? Rakyatkah? Atau sekarang sudah ada perjanjian politik? Jika boleh su’suzon “lo boleh menang, tapi kasus gue selesai, terus proyek gue tetep jalan.” Jika dulu pemimpin ditetapkan dari darah biru, era demokrasi sekarang pemimpin ditetapkan dari darah tajir.

    Gue ngga punya saran untuk masalah ini, tapi sesungguhnya sesuatu yang diharapkan dari tulisan ini hanya “jangan mau di begoin.” Jangan mau terpecah karena ketika pecah otomatis kita kalah. Jangan biarin masalah baru bikin masalah sebelumnya lepas. Mungkin tulisan ini memang ngebosenin banget, tapi gue berharap lebih dengan pembaca. Mungkin ngga sebagus tulisan para novelis atau para sastrawan. Tetapi untuk satu hal yang pasti, kita bisa mengerti dengan memahami, kita bisa memahami dengan mengamati. Kita yang mengawal Indonesia. Jangan berhenti disini. Kita terus maju, kuat dan melawan mereka. Ini bukan makar, ini adalah pengawalan. Kita bisa menaikkan, kitapun dapat menjatuhkan.

    Kamis, 16 Maret 2017

    Pada Suatu Ketika

    Pada suatu ketika, di tempat yang terlalu jauh untuk dicapai. Seorang pemimpin besar yang pernah memperjuangkan Negerinya rindu akan kampung halamannya. Ia kembali teringat dengan perjuangannya membela bumi pertiwi, air mata dan darah yang bercucuran, kelaparan dan kehausan, keterpurukan dan ketidak adilan, teriakan “merdeka atau mati.” Semua hadir kembali. Namun, dalam semua ingatan, sang pempimpin teringat sahabatnya, seseorang yang selalu disampingnya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Ia bertanya dalam perenungannya “bagaimana Bangsaku kini?”

    H:            “Merindukanku No? ucap seseorang dari belakang, suara yang selalu dihafalnya.
    S:            “Ahh kau ini, seharusnya aku yang bertanya begitu, kan kau yang datang kemari. Hahaha”
    H:            “Kau sama saja seperti dulu No” ucapnya dengan senyum yang sama seperti dulu
    S:            “Karena kau sudah disini, coba ceritakan bagaimana Negara kita kini? Apakah sudah berhasil mengalahkan Inggris atau Amerika itu?”
    H:           “…………………………………………..” hening, yang terdengar hanyalah detik jam dan yang tampak hanyalah kesedihan.
    S:            “Kau kenapa? Ceritakan kepadaku” tanyanya mendesak.
    H:           “Apakah kau yakin mau mendengarkannya? Negaramu kini tak sesuai dengan harapanmu dulu No”
    S:            “Katakan saja, aku siap mendengarkannya” ucapnya dengan tatapan penasaran
    H:           “Jika seharusnya bersedih, dirimulah yang sepatutnya bersedih No. Cita-cita yang kau perjuangkan dulu kini terlupakan. Negara mu sekarang hanya markas para pemimpin yang mementingkan keperluan pribadi dan kelompok. Bangsa mandiri yang kau impikan kini menjadi Negara yang terlilit hutang. Korupsi dimana-mana. Rakyat miskin terus meronta kelaparan sementara penguasa sibuk pencitraan. Kau harus tau dalam beberapa waktu ini ada kabar bahwa satu keluarga mati bunuh diri, mereka tidak kuat menanggung beban hidup di Bangsa ini. Sesuatu yang ku yakini, ia tidaklah mati bunuh diri, mereka mati karena dibunuh kejamnya Negeri ini”
    S:            “Apa yang kau katakan? Seburuk itukah Bangsaku kini?”
    H:           “Lebih dari itu No. Kau tentu ingat tentang Negara kita adalah Negara Non-Blok. Kini tak lagi. Malah pihak asing sudah memulai invasi, tiap pihak asing sudah mengeluarkan maskotnya kepada publik, menciptakan dirinya seakan pahlawan yang jujur dan bersih, masuk kedalam sendi-sendi politik Indonesia dan berniat menguasai Negeri kita. Pancasila yang dulu kau perjuangkan dihina, ideologi bangsa yang seharusnya dihormati, kini itu semua hilang No. Bangsa kita hancur karena mereka, oknum yang kini menjadi mayoritas.”
    Seketika kesenduan masuk kedalam hati para veteran pemimpin. Tangis yang tertahan dalam jiwa yang habis terkoyak, atau mungkin lebih sakit lagi. Mereka hancur, dan terkubur oleh serpihan pengharapan oleh Negaranya kelak.
    S:            “Tunggu dulu, bagaimana dengan para pemudanya? Jika pemuda tetap memiliki karakter Pancasila, aku yakin Bangsa ini masih dapat terselamatkan.”
    H:           “Kau benar No, memang sebuah Bangsa terletak di tangan para pemuda, baik atau buruknya suatu Bangsa kelak itu tergantung para pemudanya. Tetapi jika dilihat sekarang, para pemuda kini harus ada yang menyadarkan No.”
    S:            “Maksudmu bagaimana? Memang kenapa dengan pemuda kita sekarang?”
    H:           “Jujur No, secara potensi banyak generasi muda di Bangsa kita memiliki kualitas yang bagus, tetapi sayangnya generasi muda kini telah banyak dicekoki produk-produk asing. Pemikiran mereka telah dibuat tak berisi oleh tayangan televisi. Smartphone yang seharusnya membuat mereka cerdas malah menjadikan mereka ketergantungan dengan handphone. Mereka menjadi generasi menunduk.”
    S:            “Maksudmu generasi menunduk apa?”
    H:           “Iya, mereka hanya fosus pada layar smartphone mereka. Mereka sibuk peduli dengan apa yang ada di media sosial dari pada kehidupan nyata. Banyak dari mereka berkomentar bijak tanpa sebuah aksi nyata.
    S:            “Setidaknya mereka memberikan komentar, bukankah itu pemikiran yang jika dijalankan dapat membangun Bangsa ini?
    H:           “Aku setuju No dengan pemikiranmu, namun harus disayangkan lagi. Minat membaca di Negara kita sangat rendah, tetapi minat untuk berkomentar sangatlah tinggi. Bukankah komentar tak berisi sangatlah tak penting No?
    Sekali lagi, keheningan hadir ditengah pembicaraan mereka.
    H:           “Maafkan aku No, harus menceritakan ini kepadamu, pemuda yang kau bilang dapat mengguncang dunia, kini kalimat itu hanya menjadi penghias caption mereka di foto instagramnya. Aku ingat kau pernah mengatakan kalau kita adalah bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita, tapi kini tak ada satupun dari pemudamu yang mau menderita. Untuk membaca saja mereka malas. Kini, sudah jarang yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad merdeka, mereka hanya memburu hits didunia maya. Dunia fana semacam Disneyworld dimana semua keajaiban terwujud, padahal Tuhan hanya mengubah nasib suatu kaum, jika kaum itu sendiri yang mau mengubahnya”
    S:            “Cukup, aku sudah mengerti ta. Meskipun dengan kondsi seperti itu, aku tetap percaya dengan generasi muda, aku tetap percaya diantara mereka yang masih mewarisi tekad merdeka. Walaupun diantara mereka terdapat generasi menunduk seperti katamu, aku yakin mereka dapat berubah. Mereka hanya kurang dorongan. Aku yakin selalu ada jalan, untuk mengenalkan mereka dengan pahlawannya, aku yakin disuatu hari nanti mereka akan kembali mengingat jasa para pahlawannya, mereka akan menanamkan sejarah Bangsa dihatinya. Dan ketika saat itu tiba, tak akan lagi kita temukan sendu diantara kita dan tersenyum bersama karena cita-cita kita telah tercapai.

    S&H:      “Kini perkataanku dahulu benar adanya, perjuangan kalian akan lebih sulit karena harus melawan bangsa kalian sendiri. Namun, kutitipkan bangsa dan Negara ini kepada kalian. Jaga dan rawatlah ia. Kuberikan amanah ini dipundak kalian, bukan sesuatu yang kebetulan, tapi karena memang kalianlah yang bisa. Bangunkan lagi macan asia. Hidupkan lagi Elang Rajawalimu,”