”Indonesia kembali berduka, konflik sampit yang
merupakan konflik antar etnis antara suku Dayak dan warga imigran Madura pada
akhirnya berujung kepada kekerasan hingga merugikan banyak masyarakat. Pada 18
feburuari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak.
Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000
warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang
juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak”
Suara radio membuatku terdiam. Semua rasa menyeruak di dalam hatiku. Langit
senja yang selalu menghias sore kini seakan berubah menjadi kelabu.
Keheningannya membawaku pada sebuah renungan tentang kondisi negeriku. “Apakah
perbedaan di jadikan tembok penghalang untuk sebuah persatuan? Lalu jika
seperti itu apalah guna dari semboyan Bhineka Tunggal Ika yang tulisannya
terukir dibawah burung garuda? Apa guna dari sumpah pemuda yang dulu dengan
lantangnya menyatakan bahwa kita adalah Indonesia. Apakah Indonesia selamanya tidak
dapat hidup dalam persatuan? Apakah semua ini hanyalah omongkosong belaka?”
semua pertanyaan ini berputar dalam pikiranku.
“ Rahman, ngapain bengong? “ ujar ibuku sambil di
tengah lamunanku. Ibuku merupakan harta yang paling berharga setelah kepergian
ayahku. Ia seakan pilar bagi kehidupanku.
“ Gapapa bu, Cuma lagi mendengarkan berita
tentang perang sampit” jawabku
Ibuku hanya tersenyum mendengarkan penjelasanku.
“ Sini Man, ibu beri tahu”
Aku melangkahkan kakiku kearah ibuku yang sedang
asik menyulam di bangku tamu.
“ Kenapa bu?” ujarku sesampainya aku di samping
ibuku
“ Kamu tahu kenapa nama kamu Abdurrahman Mandela?
“
Sambil menggeleng aku menjawab “ Tidak Bu”
“almarhum ayahmulah yang memberikanmu nama
tersebut, diambil dari nama presiden ke empat yaitu Abdurrahman Wahid dan juga
presiden Afrika yaitu Nelson Mandela, taukah kamu tentang kehebatan mereka
berdua? “ Tanya ibuku
Aku menjawabnya hanya dengan gelengan
“ mereka mempunyai satu kesamaan, mereka tidak
menyukai diskriminasi dan mereka sangat menghargai perbedaan. Ayahmu
menginginkan kelak kamu dapat seperti mereka. Kamu tidak hanya menghargai
perbedaan, namun kamu membawa persatuan untuk mereka yang merasa berbeda,
karena sebenarnya kita itu satu, yaitu Indonesia. “ ujar ibuku dengan mata yang
berkaca-kaca dibarengi sebuah senyum yang mengambang.
“ Iya bu, aku janji dan aku pasti bisa” sautku
dengan semangat seraya memeluknya
************************************
Pagi tak selamanya cerah, namun tidak berarti melemahkan semangatku untuk
menuntut ilmu. Ku percepat langkah kakiku sebelum butir butir air turun dari
langit. Jarak antara rumah dan sekolahku memang cukup jauh, namun semua tak
terasa karena pedesaanku yang masih
sejuk, dan juga indahnya pohon sawit yang berjejer rapih yang tiap paginya
selalu menemani tiap langkah kakiku tiap pagi. Aku yakin sangatlah banyak
keindahan yang terdapat di negeriku ini, di zambrut khatulistiwa.
Pukul 06.20, aku sampai di SMAN 2 Bangkinang, Kalimantan Tengah, 10 menit
sebelum pelajaran dimulai. Aku berjalan kearah kelasku, kelas 11 IPA 2,
sesampainya di kelas aku melihat teman-temanku sedang asik membicarakan
sesuatu. Aku yang penasaran menghampiri mereka dan bertanya.
“ Hey, seru banget kayanyaknya. Ngomongin apa
sih?
“ Ini man, cerita tentang perang suku yang baru
baru ini terjadi.” Ujar Rido salah satu temanku
“ ohh masalah itu, tenang aja nanti pas aku udah
jadi pejabat, semua akan aku buat bersatu kok “ ujarku yakin
Seketika semua temanku tertawa mendengarkan
perkataanku.
“ ngimpi kamu man “ saut rido
“ iya benar, realistis aja dong Man, kita aja
raykat pinggiran masih tidak di anggap, kamu lagi pake mimpi jadi presiden,
bisa makan saja sudah Alhamdulillah” saut salah satu temanku
Disela sela obrolan tiba tiba “Teeeeng Teeeeng
Teeeeeng”
Bel sekolah berbunyi menandakan pelajaran akan segera di mulai. Pak Budi datang
memasuki kelas, guru Pkn yang satu ini memang tidak pernah terlambat untuk
masuk kelas. Kini semua siswa disuruh maju kedepan untuk menceritakan apa
cita-cita yang akan mereka lakukan untuk Indonesia kelak.
“Abdurrahman Mandela, maju dan ceritakan cita citamu” ujar Pak Budi
“Assalamualaikum, saya Rahman dan saya bercita cita untuk menjadi presiden
kelak, dan impian saya adalah menyatukan Indonesia di tengah-tengah perbedaan.”
Semua murid seketika tertawa mendengarkan
penyataan polosku, dan tidak sedikit yang bahkan menghinanya. Di daslam keadaan
gaduh Pak Budi tersenyum kepadaku dan menyuruhku untuk kembali ketempat.
Teeeengg Teeeng Teeeeng
Bel pulang sekolah terdengar dan saatnya para pelajar untuk pulang. Semua murid
berlari sebelum hujan turun, karena saat ini sudah gerimis. Aku yang hari ini
tidak bersemangat menjadi enggan untuk pulang dan lebih memilih duduk di bangku
taman dengan ditemani gerimis gerimis kecil yang seakan menari di kepalaku.
Cuaca yang sejuk kembali membawaku kembali ke pagi tadi, ketika seorang temanku
berkata bahwa orang pinggiran tidak dapat mengubah apapun untuk negeri ini.
Lalu apakah janjiku kemarin pada Ibuku hanyalah sebuah omong kosong yang memang
pada realitanya semua itu tidak dapat terjadi?
Ditengah lamunanku akan semua ini tiba-tiba ada seorang yang menepuk pundakku
dari belakang. Dengan reflek aku langsung menengok belakang dan yang kudapatkan
adalah sosok Pak Budi yang menepuk pundakku.
“ Eh, belum pulang Pak? Tanyaku basa-basi“ Iya, ini mau keparkiran, tp pas dijalan malah ngeliat kamu sendirian, apa yang kamu pikirkan? Cita-citamu?” Tanya Pak Budi
“I – iya pak” jawabku ragu-ragu
“ Cita-citamu bagus kok Man, jangan menyerah dengan itu, mungkin memang sulit dan lebih mudah untuk kita menyerah. Namun bapak yakin, jika kita punya tekat yang kuat pasti apapun bisa terjadi. Soekarno pun dulu melakukan hal yang sama untuk memerdekakan Indonesia, tapi beliau mempunyai tekat yang kuat untuk mewujudkan mimpinya.”
Aku hanya dapat mengangguk mendengarkan perkataan Pak Budi
“ Man coba kamu liat pelangi itu.” Perintah Pak Budi sambil menunjuk ke langit
“Iya Pak, kenapa?” sautku
“Pelangi itu berasal dari kumpulan berbagai warna didalamnya, ia indah karena memiliki banyak warna, bukan hanya karena satu warna, dan warna di dalamnya tidak terpisah, melainkan mereka dalam satu kesatuan sehingga menciptakan suatu kindahan dan keindahannya kita sebut dengan sebutan pelangi.
“ Lalu Pak? Apa hubungannya dengan Indonesia?” tanyaku
“ sama halnya dengan Indonesia, kita berasal dari berbagai suku, etnik, agama, budaya dan lain-lain. Masalahnya kita belum bersatu seperti pelangi tersebut sehingga belum terlihat keindahannya. bapak yakin suatu saat akan ada yang dapat menyatukan itu semua, dan Indonesia akan sama dengan pelangi. Berasal dari berbagai macam perbedaan, namun perbedaan itu tidak menghasilkan permusuhan melainkan menjadikan itu seuatu keindahan, dimana keindahannya kelak akan kita sebut dengan sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesi NKRI.” Ujar Pak Budi
Aku hanya dapat terpukau mendengarkan perumpamaan
tersebut, disaat aku ragu akan jalan yang akan ku tempuh aku kembali
disadarkan.
Aku berdiri dan menghela nafa panjang. Sambil
menyalimi Pak Budi aku berkata “ Terimakasih Pak. Saya tahu harus melakukan
apa, saya janji pada negeri ini”
***********************************
Waktu terus berlalu dan semuanya berjalan maju. Kini aku menjadi Mahasiswa di
Universitas Gajah Mada, aku mengambil jurusan sosiologi seperti yang dari kecil
aku inginkan. Selain sibuk dalam bidang akademik akupun merupakan seorang yang
aktif dalam organisasi, aku mengikuti organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa
divisi Bela Negara di kampus. Selain itu aku kini hidup merantau, memang aku
belajar akan kemandirian, akan tetapi hati ini selalu khawatir akan keadaan
ibuku yang kini tinggal sendiri, namun ini adalah salah satu motivasiku agar
aku cepat mendapatkan gelar sarjana.
Waktu
menunjukan pukul 14.00, dan aku bersiap-siap untuk mengikuti rapat yang akan
membahas program kerja BEM yang akan dijalankan selanjutnya.
“Sian semuanya, kali ini saya akan membahas
proker terdekat kita, yaitu peringatan sumpah pemuda padaa tanggal 28 oktober
2003, kita masih mempunyai 5 bulan untuk persiapan, apakah ada dari kalian yang
mempunyai ide?” ujar seorang pria bertubuh tinggi bernama Andi yang menduduki jabatan
sebagai ketua BEM.
Seketika ruangan dalam kondisi hening, tak ada
apapun yang bersuara, semua sibuk berfikir tentang acara apakah yang pantas
untuk diselenggarakan hingga akhirnya
“Bagaimana dengan seminar?” ujar sintia
memecahkan keheningan
“Itu sudah terlalu biasa, apakah ada yang
mempunyai ide lain?” saut Andi dengan santai
Aku menghela nafas panjang dan menyenderkan
punggungku pada senderan kursi untuk menenangkan pikiran. Mataku menerawang
memangdangi sekitar berharap menddapatkan inspirasi. Ditengah memperhatikan
sekitar tanpa sengaja mataku terfokus pada sebuah tulisan dibawah burung garuda
yang bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika” dan seketika aku mendapatkan jawaban
dari apa yang ku pikirkan.
Aku lekas
berdiri dan memberikan sebuah usul
“Bagaimana
jika festival kebudayaan?”
“maksudnya?”
Tanya seorang rekanku dalam kepengurusan
“iya, jadi
kita mengadakan sebuah festival di Monas, kita mengundang seluruh universitas
di seluruh Indonesia, dan tiap-tiap dari kampus mereka harus menampilkan
sesuatu dari daerahnya, mulai dari makanan, kesenian, baju daerah dan
lain-lain. Inti dari acara ini adalah menumbuhkan kembali rasa kebhinekaan
kita, walaupun kita bermacam-macam namun kita satu.” Ujarku menerangkan dengan
perlahan
Ketua BEM
dan para pengurus BPH bereaksi dengan mengganguk sampai akhirnya,
“Siapa yang
setuju acara ini tunjuk tangan” ujar sang ketua
Tanpa
disangka semua yang ada di dalam ruangan menunjuk tangan termasuk Andi
“Oke, kita
jalankan acara ini, dan kamu Rahman, karena ini adalah ide kamu, kamulah yang
menjadi ketua panitia” ujar ketua dan akhirnya rapat ditutup.
*******************************
Pagi diawal bulan Agustus, aku
membuka jendela kost ku dan berdiri menatap luar, aku menarik nafas panjang dan
berharap bulan ini akan menjadi bulan yang baik untukku. Sudah setengah jalan
dari persiapan ku dalam acara festival ini, rasa penat yang mulai terasa dan
masalah yang dikit demi sedikit muncul kepermukaan. Aku tak boleh kalah dengan
ini, karena dengan ini aku terasa dekat dengan impianku.
“Trriiiinggg
triiiinggg triiiing” bunyi telfon menyadarkanku dan ketika ku lihat, aku tak
mengetahui nomor siapa ini hingga akhirnya aku angkat.
“hallo,
apakah ini Rahman” Tanya seorang wanita di ujung telfon
“iya, dengan
siapa ini?” jawabku sopan
“saya dari
bidang kemahasiswaan, dan mahasiswa yang bernama Rahman di harapkan untuk
bertemu dengan rector nanti siang pukul 14.00”
“maaf saya
di panggil karna apa ya mba?” tanyaku penasaran
“maaf mas,
saya juga kurang tahu” jawabnya dengan lembut dan percakapanpun selesai
Kini yang ada di otaku hanya
dibumbui dengan satu kata, yaitu “apa”, apa yang akan terjadi, apa masalahku,
apa yang akan dikatakan oleh rektor, dan semua pertanyaan itu menjadi misteri
hingga waktu menunjukkan jam 12 yang artinya aku harus pergi ke kampus agar
tidak terlambat untuk bertemu rektor.
Waktu menujukkan pukul 14.00 dan aku
tepat berada di pintu ruang rektor, jantungku seakan mau copot karena semua
ini, padahal aku belum mengetahui apa yang akan di bicarakan rektor, tapi rasa
gelisah telah membawaku ke puncak ketakutan. Aku mau tak mau harus meberanikan
diri, dank u mencoba mengetuk pintunya. Ditekukkan yang ke3 akhirnya terdengar
suara
“silahkan
masuk” ujar seorang laki-laki di baling pintu
Aku
menggenggam gagang pintu dan dengan perlahan membuka pintu hingga akhirnya aku
berada di dalam ruangan rektor dan aku melihat seorang laki laki tak berambut
dan memiliki tanda pengenal seperti pin di dadanya dengan nama Hartono
“permisi
pak, saya rahman fakultas sosiologi, tadi pagi saya mendapatkan telfon dari
kemahasiswaan katanya aku di panggil untuk menemui rektor, sebelumnya ada apa
ya pak?” ujarku dengan nada sehalus dan sesopan mungkin.
“ohh iyaa
rahman, kamu lihat ini, ada surat untuk kamu” jawab pria berkepala botak
sembari memberikan sepucuk surat.
0 komentar:
Posting Komentar