Senin, 13 Januari 2014

Aku Bukan Indonesia



”Indonesia kembali berduka, konflik sampit yang merupakan konflik antar etnis antara suku Dayak dan warga imigran Madura pada akhirnya berujung kepada kekerasan hingga merugikan banyak masyarakat. Pada 18 feburuari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya  oleh suku Dayak”

            Suara radio membuatku terdiam. Semua rasa menyeruak di dalam hatiku. Langit senja yang selalu menghias sore kini seakan berubah menjadi kelabu. Keheningannya membawaku pada sebuah renungan tentang kondisi negeriku. “Apakah perbedaan di jadikan tembok penghalang untuk sebuah persatuan? Lalu jika seperti itu apalah guna dari semboyan Bhineka Tunggal Ika yang tulisannya terukir dibawah burung garuda? Apa guna dari sumpah pemuda yang dulu dengan lantangnya menyatakan bahwa kita adalah Indonesia. Apakah Indonesia selamanya tidak dapat hidup dalam persatuan? Apakah semua ini hanyalah omongkosong belaka?” semua pertanyaan ini berputar dalam pikiranku.

“ Rahman, ngapain bengong? “ ujar ibuku sambil di tengah lamunanku. Ibuku merupakan harta yang paling berharga setelah kepergian ayahku. Ia seakan pilar bagi kehidupanku.
“ Gapapa bu, Cuma lagi mendengarkan berita tentang perang sampit” jawabku
Ibuku hanya tersenyum mendengarkan penjelasanku.
“ Sini Man, ibu beri tahu”
Aku melangkahkan kakiku kearah ibuku yang sedang asik menyulam di bangku tamu.
“ Kenapa bu?” ujarku sesampainya aku di samping ibuku
“ Kamu tahu kenapa nama kamu Abdurrahman Mandela? “
Sambil menggeleng aku menjawab “ Tidak Bu”
“almarhum ayahmulah yang memberikanmu nama tersebut, diambil dari nama presiden ke empat yaitu Abdurrahman Wahid dan juga presiden Afrika yaitu Nelson Mandela, taukah kamu tentang kehebatan mereka berdua? “ Tanya ibuku
Aku menjawabnya hanya dengan gelengan
“ mereka mempunyai satu kesamaan, mereka tidak menyukai diskriminasi dan mereka sangat menghargai perbedaan. Ayahmu menginginkan kelak kamu dapat seperti mereka. Kamu tidak hanya menghargai perbedaan, namun kamu membawa persatuan untuk mereka yang merasa berbeda, karena sebenarnya kita itu satu, yaitu Indonesia. “ ujar ibuku dengan mata yang berkaca-kaca dibarengi sebuah senyum yang mengambang.
“ Iya bu, aku janji dan aku pasti bisa” sautku dengan semangat seraya memeluknya
                                     ************************************
            Pagi tak selamanya cerah, namun tidak berarti melemahkan semangatku untuk menuntut ilmu. Ku percepat langkah kakiku sebelum butir butir air turun dari langit. Jarak antara rumah dan sekolahku memang cukup jauh, namun semua tak terasa karena pedesaanku  yang masih sejuk, dan juga indahnya pohon sawit yang berjejer rapih yang tiap paginya selalu menemani tiap langkah kakiku tiap pagi. Aku yakin sangatlah banyak keindahan yang terdapat di negeriku ini, di zambrut khatulistiwa.
            Pukul 06.20, aku sampai di SMAN 2 Bangkinang, Kalimantan Tengah, 10 menit sebelum pelajaran dimulai. Aku berjalan kearah kelasku, kelas 11 IPA 2, sesampainya di kelas aku melihat teman-temanku sedang asik membicarakan sesuatu. Aku yang penasaran menghampiri mereka dan bertanya.
“ Hey, seru banget kayanyaknya. Ngomongin apa sih?
“ Ini man, cerita tentang perang suku yang baru baru ini terjadi.” Ujar Rido salah satu temanku
“ ohh masalah itu, tenang aja nanti pas aku udah jadi pejabat, semua akan aku buat bersatu kok “ ujarku yakin
Seketika semua temanku tertawa mendengarkan perkataanku.
“ ngimpi kamu man “ saut rido
“ iya benar, realistis aja dong Man, kita aja raykat pinggiran masih tidak di anggap, kamu lagi pake mimpi jadi presiden, bisa makan saja sudah Alhamdulillah” saut salah satu temanku
Disela sela obrolan tiba tiba “Teeeeng Teeeeng Teeeeeng”
            Bel sekolah berbunyi menandakan pelajaran akan segera di mulai. Pak Budi datang memasuki kelas, guru Pkn yang satu ini memang tidak pernah terlambat untuk masuk kelas. Kini semua siswa disuruh maju kedepan untuk menceritakan apa cita-cita yang akan mereka lakukan untuk Indonesia kelak.
            “Abdurrahman Mandela, maju dan ceritakan cita citamu” ujar Pak Budi
            “Assalamualaikum, saya Rahman dan saya bercita cita untuk menjadi presiden kelak, dan impian saya adalah menyatukan Indonesia di tengah-tengah perbedaan.”
Semua murid seketika tertawa mendengarkan penyataan polosku, dan tidak sedikit yang bahkan menghinanya. Di daslam keadaan gaduh Pak Budi tersenyum kepadaku dan menyuruhku untuk kembali ketempat.

Teeeengg Teeeng Teeeeng
            Bel pulang sekolah terdengar dan saatnya para pelajar untuk pulang. Semua murid berlari sebelum hujan turun, karena saat ini sudah gerimis. Aku yang hari ini tidak bersemangat menjadi enggan untuk pulang dan lebih memilih duduk di bangku taman dengan ditemani gerimis gerimis kecil yang seakan menari di kepalaku.
            Cuaca yang sejuk kembali membawaku kembali ke pagi tadi, ketika seorang temanku berkata bahwa orang pinggiran tidak dapat mengubah apapun untuk negeri ini. Lalu apakah janjiku kemarin pada Ibuku hanyalah sebuah omong kosong yang memang pada realitanya semua itu tidak dapat terjadi?
            Ditengah lamunanku akan semua ini tiba-tiba ada seorang yang menepuk pundakku dari belakang. Dengan reflek aku langsung menengok belakang dan yang kudapatkan adalah sosok Pak Budi yang menepuk pundakku.
“ Eh, belum pulang Pak? Tanyaku basa-basi
“ Iya, ini mau keparkiran, tp pas dijalan malah ngeliat kamu sendirian, apa yang kamu pikirkan? Cita-citamu?” Tanya Pak Budi
“I – iya pak” jawabku ragu-ragu
“ Cita-citamu bagus kok Man, jangan menyerah dengan itu, mungkin memang sulit dan lebih mudah untuk kita menyerah. Namun bapak yakin, jika kita punya tekat yang kuat pasti apapun bisa terjadi. Soekarno pun dulu melakukan hal yang sama untuk memerdekakan Indonesia, tapi beliau mempunyai tekat yang kuat untuk mewujudkan mimpinya.”
Aku hanya dapat mengangguk mendengarkan perkataan Pak Budi
“ Man coba kamu liat pelangi itu.” Perintah Pak Budi sambil menunjuk ke langit
“Iya Pak, kenapa?” sautku
“Pelangi itu berasal dari kumpulan berbagai warna didalamnya, ia indah karena memiliki banyak warna, bukan hanya karena satu warna, dan warna di dalamnya tidak terpisah, melainkan mereka dalam satu kesatuan sehingga menciptakan suatu kindahan dan keindahannya kita sebut dengan sebutan pelangi.
“ Lalu Pak? Apa hubungannya dengan Indonesia?” tanyaku
“ sama halnya dengan Indonesia, kita berasal dari berbagai suku, etnik, agama, budaya dan lain-lain. Masalahnya kita belum bersatu seperti pelangi tersebut sehingga belum terlihat keindahannya. bapak yakin suatu saat akan ada yang dapat menyatukan itu semua, dan Indonesia akan sama dengan pelangi. Berasal dari berbagai macam perbedaan, namun perbedaan itu tidak menghasilkan permusuhan melainkan menjadikan itu seuatu keindahan, dimana keindahannya kelak akan kita sebut dengan sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesi NKRI.” Ujar Pak Budi
Aku hanya dapat terpukau mendengarkan perumpamaan tersebut, disaat aku ragu akan jalan yang akan ku tempuh aku kembali disadarkan.
Aku berdiri dan menghela nafa panjang. Sambil menyalimi Pak Budi aku berkata “ Terimakasih Pak. Saya tahu harus melakukan apa, saya janji pada negeri ini”

                                    ***********************************

            Waktu terus berlalu dan semuanya berjalan maju. Kini aku menjadi Mahasiswa di Universitas Gajah Mada, aku mengambil jurusan sosiologi seperti yang dari kecil aku inginkan. Selain sibuk dalam bidang akademik akupun merupakan seorang yang aktif dalam organisasi, aku mengikuti organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa divisi Bela Negara di kampus. Selain itu aku kini hidup merantau, memang aku belajar akan kemandirian, akan tetapi hati ini selalu khawatir akan keadaan ibuku yang kini tinggal sendiri, namun ini adalah salah satu motivasiku agar aku cepat mendapatkan gelar sarjana.

            Waktu menunjukan pukul 14.00, dan aku bersiap-siap untuk mengikuti rapat yang akan membahas program kerja BEM yang akan dijalankan selanjutnya.

“Sian semuanya, kali ini saya akan membahas proker terdekat kita, yaitu peringatan sumpah pemuda padaa tanggal 28 oktober 2003, kita masih mempunyai 5 bulan untuk persiapan, apakah ada dari kalian yang mempunyai ide?” ujar seorang pria bertubuh tinggi bernama Andi yang menduduki jabatan sebagai ketua BEM.
Seketika ruangan dalam kondisi hening, tak ada apapun yang bersuara, semua sibuk berfikir tentang acara apakah yang pantas untuk diselenggarakan hingga akhirnya
“Bagaimana dengan seminar?” ujar sintia memecahkan keheningan
“Itu sudah terlalu biasa, apakah ada yang mempunyai ide lain?” saut Andi dengan santai
Aku menghela nafas panjang dan menyenderkan punggungku pada senderan kursi untuk menenangkan pikiran. Mataku menerawang memangdangi sekitar berharap menddapatkan inspirasi. Ditengah memperhatikan sekitar tanpa sengaja mataku terfokus pada sebuah tulisan dibawah burung garuda yang bertuliskan “Bhineka Tunggal Ika” dan seketika aku mendapatkan jawaban dari apa yang ku pikirkan.
Aku lekas berdiri dan memberikan sebuah usul
“Bagaimana jika festival kebudayaan?”
“maksudnya?” Tanya seorang rekanku dalam kepengurusan
“iya, jadi kita mengadakan sebuah festival di Monas, kita mengundang seluruh universitas di seluruh Indonesia, dan tiap-tiap dari kampus mereka harus menampilkan sesuatu dari daerahnya, mulai dari makanan, kesenian, baju daerah dan lain-lain. Inti dari acara ini adalah menumbuhkan kembali rasa kebhinekaan kita, walaupun kita bermacam-macam namun kita satu.” Ujarku menerangkan dengan perlahan
Ketua BEM dan para pengurus BPH bereaksi dengan mengganguk sampai akhirnya,
“Siapa yang setuju acara ini tunjuk tangan” ujar sang ketua
Tanpa disangka semua yang ada di dalam ruangan menunjuk tangan termasuk Andi
“Oke, kita jalankan acara ini, dan kamu Rahman, karena ini adalah ide kamu, kamulah yang menjadi ketua panitia” ujar ketua dan akhirnya rapat ditutup.
                                    *******************************

            Pagi diawal bulan Agustus, aku membuka jendela kost ku dan berdiri menatap luar, aku menarik nafas panjang dan berharap bulan ini akan menjadi bulan yang baik untukku. Sudah setengah jalan dari persiapan ku dalam acara festival ini, rasa penat yang mulai terasa dan masalah yang dikit demi sedikit muncul kepermukaan. Aku tak boleh kalah dengan ini, karena dengan ini aku terasa dekat dengan impianku.
“Trriiiinggg triiiinggg triiiing” bunyi telfon menyadarkanku dan ketika ku lihat, aku tak mengetahui nomor siapa ini hingga akhirnya aku angkat.
“hallo, apakah ini Rahman” Tanya seorang wanita di ujung telfon
“iya, dengan siapa ini?” jawabku sopan
“saya dari bidang kemahasiswaan, dan mahasiswa yang bernama Rahman di harapkan untuk bertemu dengan rector nanti siang pukul 14.00”
“maaf saya di panggil karna apa ya mba?” tanyaku penasaran
“maaf mas, saya juga kurang tahu” jawabnya dengan lembut dan percakapanpun selesai
            Kini yang ada di otaku hanya dibumbui dengan satu kata, yaitu “apa”, apa yang akan terjadi, apa masalahku, apa yang akan dikatakan oleh rektor, dan semua pertanyaan itu menjadi misteri hingga waktu menunjukkan jam 12 yang artinya aku harus pergi ke kampus agar tidak terlambat untuk bertemu rektor.
            Waktu menujukkan pukul 14.00 dan aku tepat berada di pintu ruang rektor, jantungku seakan mau copot karena semua ini, padahal aku belum mengetahui apa yang akan di bicarakan rektor, tapi rasa gelisah telah membawaku ke puncak ketakutan. Aku mau tak mau harus meberanikan diri, dank u mencoba mengetuk pintunya. Ditekukkan yang ke3 akhirnya terdengar suara
“silahkan masuk” ujar seorang laki-laki di baling pintu
Aku menggenggam gagang pintu dan dengan perlahan membuka pintu hingga akhirnya aku berada di dalam ruangan rektor dan aku melihat seorang laki laki tak berambut dan memiliki tanda pengenal seperti pin di dadanya dengan nama Hartono
“permisi pak, saya rahman fakultas sosiologi, tadi pagi saya mendapatkan telfon dari kemahasiswaan katanya aku di panggil untuk menemui rektor, sebelumnya ada apa ya pak?” ujarku dengan nada sehalus dan sesopan mungkin.
“ohh iyaa rahman, kamu lihat ini, ada surat untuk kamu” jawab pria berkepala botak sembari memberikan sepucuk surat.

Aku melihat isi surat dan dilamnya, aku melihat kepala surat bergambarkan logo dari Universitas Harvard, aku mencoba menterjemahkan kata demi kata dan aku mendapatkan kesimpulan bahwa aku mendapatkan beasiswa untuk berkuliah dan bekerja disana Karena prestasiku di kampus.

“i-ini surat beasiswa pak?” tanyaku bingung

“iya, sekarang keputusan ada di kamu, mau di ambil ataupun tidak semua tergantung kamu, seminggu lagi bapak tunggu jawabannya” ujar pak rektor

                                    **************************************

            Jam wekker membangunkanku dari  lelapnya tidur. Sudah dua hari setelah aku mendapatkan surat dan hingga kini aku belum mendapatkan jawaban antara iya ataupun tidak. Aku mencoba menutupi masalah ini agar acaraku tidak terbengkalai, pikiranku mengawang tentang semua ini, dan aku berharap menemukan titik akhir.

            Waktu menunjukkan pukul 06.00 dan aku sudah saatnya untuk pergi ke kampus karena pada jam pertama ada mata kuliah sosiologi.

“anak-anak buka bab tentang suku, coba kalian baca dan pelajari.” Ujar pak widodo dosen sosiologi

aku membuka bab tersebut, mencoba mengartikan setiap kata-katanya, dan aku sampai pada halaman yang berisi gambar kepulauan Indonesia, dengan penjelasan bahwa Jumlah pulau di Indonesia17.504. Jumlah suku bangsa: 1.340. Jumlah bahasa: 546. Betapa kayanya Negara ini dengan segala hal yang ada di dalamnya. Ditengah tengah membaca tentang berbagai suku di negeri ini, aku kembali teringat oleh perkataan pak budi tentang Indonesia dulu.

            Tanpa terasa waktu berlalu dan sudah saatnya untuk pulang, aku pulang dengan berjalan kaki karena sekalian ingin menenangkan diri. Di perjalanan aku melihat masyarakat yang saling bahu membahu membuat masjid, terlihat bagaimana rasa kebersamaan mereka. Budaya gotong royong yang memang sudah menjadi cirri khas dari penduduk Indonesia, aku berharap budaya itu terus ada dan akan ku ajarkan tentang gotong royong kepada anak cucuku kelak.

            Kini sudah lima hari setelah hari dimana aku mendapatkan surat, akupun belum mendapatkan jawabannya dan akupun dalam keadaan under pressure karena acaraku yang yang terbengkalai. Pandanganku kosong dan semangatpun tak ada lagi dalam diriku, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, di dalam lamunanku aku melihat sosok ibuku yang tersenyum, aku kembali di saat ibuku menceritakan mengapa aku diberi nama Abdurrahman Mandela, almarhum ayahku menginginkanku untuk menjadi tokoh yang mempersatukan Indonesia. “Apakah ini semua jawaban?” tanyaku dalam hati. Aku melihat jam menunjukkan masih jam 3 sore. Aku bergegas pergi ke kampus untuk mengakatan kepada Bapak rektor bahwa aku tidak mau pergi kemanapun, aku tetap mau di Indonesia”

            15.00 WIB

Aku kembali berada di depan pintu ruangkan rektor, belum sempat ku membuka pintu tiba tiba pintu pun terbuka dan pak hartono keluar.

“eh rahman, ada apa nak?” Tanya pak hartono

“ pak, maaf sebelumnya namun saya menolak untuk kuliah di luar negeri” ujarku sopan

“ memang kenapa? “

“ saya lebih mencintai negeri ini lebih dari apapun, dan lagi pula saya masih memiliki hutang untuk mempersatukan negeri ini” ujarku bersemangat

Mendengar ucapanku, pak hartono hanya tersenyum dan mengatakan.

“lanjutkan perjuanganmu nak.”

“Baik pak” ujarku bersemangat

Satu masalah sudah selesai dan masalahku kini tinggal satu, yaitu acaraku. Aku hanya memiliki waktu 3 bulan kurang. Aku mengumpulkan semua panitia dan mencoba menyelesaikan masalahnya satu persatu hingga akhirnya aku menemukan jawaban kenapa kinerjanya kurang adalah dari tiap panitia tidak mempunyai rasa persatuan dalam menjalani acara ini.

“oke saya berkesimpulan bahwa kita belum satu visi dalam acara ini, Indonesia sejatinya memiliki masyarakat yang berjiwa gotongroyong demi terciptanya satu tujuan, dan saya berharap itu semua dapat kalian tekankan dalam diri kalian, mari kita satukan visi kita bersama, yaitu menyatukan Indonesia dalam perdamaian tanpa perpecahan” ujarku dengan lantang di hadapan para panitia.

                                    **********************************

            Waktu berlalu dan terus berlalu hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Terlihat signifikan perubahan yang di alami dari setiap panitia setelah mendengarkan omonganku. Hanya menghitung hari dan acaraku akan segera terlaksana, akupun menyambutnya dengan euphoria yang sangat tinggi. Rasa bahagia ini benar-benar membuatku serasa dekat dengan impianku.

            28 oktober 2003

“ mari kita dengarkan sambutan dari ketua panitia, kepada Abdurrahman Mandela di persilahkan” ujar mc memberikanku kesempatan untuk sambutan

 assalamualaikum wr.wb

saya akan membuka sambutan saya dengan sebuah perkataan dari sang proklamator kita, “Berikan aku 10 orang pemuda dan akan ku gancangkan dunia” ayoo pemuda pemudi Indonesia kita guncang Bumi ini, kita guncang dengan segala macam yang kita puya. Ingat di tangan kitalah nantinya Indonesia, baik atau buruk, maju atau tidak, semua tergantung kepada kita. Mari kita bangunkan lagi persatuan di antara kita, persatuan tanpa perpecahan.

Pelangi terlihat indah dengan warnanya yang bermacam macam dan membentuk satu keasatuan dan kita sebut keindahannya dengan sebutan pelangi, mari kita lakukan hal yang sama untuk Indonesia. Indonesia berasal dari suku ras, etnik, agama dan budaya yang berbeda, dan kitalah sebagai wwarga Indonesia yang harus menyatukannya, membuatnya indah dan menyebut keindahannya dengan sebutan Negara Kesatuan Republik Indonesia, NKRI.

Pesan terakhir yang akan saya sampaikan, ada baiknya kita berhenti menggunakan kata kata aku Indonesia, ada baiknya kita menggantinya dengan sebutan aku bukan Indonesia. Aku hanya seorang manusia yang tanpa sengaja lahir di bumi ibu pertiwiku ini, aku di lahirkan di tengah tengah suku budaya ras agama yang berbeda, namun aku di lahirkan tanpa perbedaan. Aku mencintai negeri ini dengan sangat, dan aku enggan meninggalkan surgaku ini, zambrut katulistiwa. Namun sekali lagi aku bukan Indonesia, tapi kita, kita Indonesia

 

                                                TAMAT