Sabtu, 23 Juni 2018

Hilang Kesadaran


Kali ini tidak ada ungkapan matahari bersinar dalam pembuka tulisan. Tidak ada yang bersinar kecuali remang dari bola lampu di atas kepalaku yang saat ini terus mengawang pada keresahan yang akhir-akhir ini ku hadapi. Resah akan agamaku, negaraku, atau keakraban yang sudah hilang entah kemana.

Awalnya, kupikir esensi yang menghilang, namun nyatanya yang tidak ku temukan adalah kesadaran. Kesadaran ku sebagai mahluk beragama, sebagai warga negara ataupun sebagai mahluk sosial. Semuanya hilang dengan lemahnya kesadaran dibagaian mana harus bersikap.

"Ngga nasionalis lu. Dasar mayoritas," ucap si minoritas

"Minoritas hormatin yang mayoritas dong," kata si mayoritas

"Saya itu sering diandaikan seperti Abu Bakar ra," ucap seorang yang sedang kampanye

"Ahh lu dikatain begitu aja baper," ucap seorang teman

Saat ini kita masuk tahun politik, jaman sekarang akun-akun hijrah bertebaran dimana-mana, Jaman now banyak manusia terlalu bodoh untuk menentukan topik bercandaan dan teman untuk bercandaan. Masalah itu semua saling bertautan sehingga menjadi kompleks. Oknum politisi menunggangi agama untuk kekuasaan. Akun yang "mengaku" menyuarakan agamaku malah teriak ucapan yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya. Teman-temanku yang muak dengan semuanya, menjadikan itu bahan candaan seperti menyulut api untuk saling bertikam.

Semua yang ada di kepala menjadi meresahkan dan menyusahkan. Tiga kelompok sudah mulai menalak persatuan Indonesia. Keadilan dan Kehormatan Negara yang sudah berkurang ini, rasanya akan ditambah lagi dengan kurang ketentraman di Negaraku.

"Tulisan ini hanya melihat sisi negatifnya"

Memang segalanya memiliki sisi positif dan negatif. Namun jangka panjang dari hal negatif ini. Apa yang diharapkan dari perpecahan? Jawabnya hanya keterpurukan. Namun bukan hanya itu, masalah selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan.

Sesuatu yang saat ini ku harapkan adalah sebelum adanya keterpurukan, manusia Indonesia sudah dapat menumbuhkan kesadaran diri yang telah lama menghilang.

Kesadaran bahwa kita mahluk beragama. Maka beragamalah sesuai dengan ajaranmu. Aku tidak mengatakan bahwa yang dilakukan salah, tapi aku merasa dakwah yang sesuai untuk masyarakat Indonesia adalah dengan menunjukan kebaikan dari perilaku seperti yang sudah berhasil ditunjukan oleh leluhur kita.

Kesadaran bahwa kita Indonesia. Pancasila mengajarkan kita untuk beragama; Jadi untuk boneka politisi yang kini harus saya katakan seperti kotoran yang rapih. "Stop meremehkan masalah keagamaan kami, dan berhentilah memecah kami. Kami terus mempelajari agama kami."Selama ini, tanah surga hanya untuk penguasa, manusianya hanya dapat dijajah saja. Bukan kah begitu? Kau lahir di tanah ini bukan? Bukankah orang belakang yang menyuruhmu hanya memperlakukanmu sebagai babu? Seharusnya di tanah ini, kitalah yang menjadi tuannya. Kenapa kau malah menghianatinya?

Kesadaran bahwa kita merupakan saudara. Mungkin kita tidak sedarah, bisa jadi kita tidak seiman, tapi yang pasti kita saudara dalam kemanusian. Tidakkah cukup untuk kita saling berperang dan mengerti saudara kita? Mungkinkah kita mampu tempatkan kepada siapa sebuah kata harus terucap? Setauku agama kita tidak memecah belah. Namun saat ini politisi yang membuatnya payah. Sudahlah, anggap saja mereka kera.

Tulisan ini semakin membuat gemas karena menggelitik nuraniku. Tidak semua dalam tulisan ini benar, tapi setidaknya kumohon untuk kita berjuang mengukapkan kebenaran dari sebuah kebaikan sikap dan perilaku. Bukan hanya dari omongan.

Aku mohon

Aku mohon

Aku mohon

Senin, 04 Juni 2018

Menjadi Nabi

“Aku ingin menjadi Nabi,”
Aku mengatakan hal tersebut dengan lantang di hadapan semua orang. Waktu itu aku masih kelas dua SMP. Tepatnya di mata pelajaran agama. Semua murid ditanyai perkara impian mereka. Kata guruku, semua cita-cita bagus jika melakukannya di jalan Tuhan.
Aku mendengar beberapa jenis bunyi yang tercipta dari teman-temanku yang menahan tawa. Tapi berbeda dengan guru yang menatapku. Matanya memerah, dan rahang dagunya nampak tegang setelah mendengar jawabanku. Guruku serupa gunung yang siap meletuskan laharnya dan melahapku hingga sampai ke tulang-tulang.
“Kau tidak akan bisa menjadi Nabi. Siapa yang mengajarimu?!”
Suaranya membentak dan menggetarkan nyali semua murid, kecuali diriku. Lahar yang disemburkannya tak akan mampu melelehkan diriku. Aku masih berdiri dan bernyali dengan kebenaran yang ku miliki. Jika keyakinanku melemah karena cacian maka aku harus malu kepada diriku sendiri.
“Heh sesat! Siapa yang mengajarimu?!” tanyanya sekali lagi dengan semburat hinaan yang disisipkan di depan perkataannya.
“Bapak yang sedang mengajariku sekarang,”
Dari mulutnya kulihat guruku sedang kumat-kamit, entah apa yang dirapalkannya. Mata kurang simpati itu memandangiku seumpanya diriku hanyalah seongok dosa yang dibalut dengan daging. Merasa paling benar ketika mendapati seseorang yang melakukan kesalahan.
“Kamu dihukum, berdiri di luar dengan satu kaki anak sesat!” hardiknya sekali lagi
“Aku salah apa?”
“Kau sesat!”
“Kenapa bapak menyebutku sesat?”
“Karena kau ingin menjadi Nabi.”
“Memang kenapa kau melarangku?”
“Cepat keluar sebelum aku menamparmu!”
Sudah sering aku mengalami kejadian seperti ini, dan setelahnya aku akan selalu berpikir mengapa karena hal ini aku kerap dimarahi. Perseteruanku tidak hanya kali ini. Pernah disuatu waktu aku dipukul oleh guru ngajiku dengan sebuah sapu lidi karena mengetahui impianku yang ingin menjadi Nabi.
Aku masih merasa stampel sesat yang orang banyak berikan kepadaku tak lebih hanya karena mereka iri. Rata-rata keinginan mereka hanyalah profesi dunia. Berbeda dengan diriku yang memiliki impian lebih luas dari dunia dan seisinya. Aku yakin diriku tidak sesat, aku hanya ingin menjadi Nabi. Setiap hari, setiap setelah sholat, di sepertiga malam, aku selalu menitikan airmataku dan berharap kepadaNya untuk bisa menjadi Nabi.
Aku melangkahkan diriku keluar bersama dengan impian yang nurani yang masih sama dengan sebelumnya. Aku berdiri menghadap lapangan upacara yang beratapkan langit yang juga lapang. Ku pindahkan pandanganku ke arah lain dan ku dapati seekor kucing kecil mengeong sambil berjalan kearahku.
“Mengapa mengeong? Lapar?” tanyaku kepada sang kucing
“Jangan sok tau,”
“Lalu?”
“Sedang menertawaimu yang berdiri satu kaki, padahal Tuhan memberikanmu dua,”
“Aku sedang dihukum,”
“Karena apa?” tanyanya
“Karena aku ingin jadi Nabi,”
“Bodoh kau ini, Nabi itu manusia pilihan,”
“Sejak kapan Tuhan pilih kasih?”
Kucing itu bungkam menelan pertanyaanku. Tidak lagi ada suara mengeong yang keluar. Dia berjalan menjauh dariku, menundukan kepala dan hilang menjadi sia-sia. Biar rasa kucing sok tau itu, dia pikir dengan siapa dirinya sedang berbicara. Mahluk yang derajatnya di tinggikan karena diberikan akal.
Di tengah hukuman yang sedang ku jalani, guruku yang sebelumnya membentakku menyuruh untuk diriku masuk kembali. Mata geram yang sebelumnya diperlihatkan, kini tak lagi menunjukan buasnya. Mungkinkah guruku sudah dapat menerima keinginanku?
“Kau sudah menyesali perbuatanmu?” Ternyata belum ada penerimaan apapun. Dirinya tetap menganggap cita-citaku sebagai sebuah kesalahan.
“Aku tidak perlu menyesali apapun.”
“Dasar pengikut setan!” umpatnya
Sebentar saja suasana yang kupikir telah damai seakan sirna dengan umpatan yang tidak selayaknya. Aku jadi penasaran bagaimana seorang guru agama dapat mengatakan hal yang begitu tak pantas keluar dari mulut orang beriman. Apakah dia pikir keagaman hanya secara ritual tanpa memikirkan apa yang ada di dalam dirinya?
Guruku seperti kehabisan akal menghadapiku. Mungkin dipikirnya aku ini keturunan Dajjal yang siap untuk meruntuhkan iman-iman manusia. Padahal pada dasarnya terbuainya manusia memang karena tidak memiliki kecintaan terhadap Tuhannya saja.
“Kau sudah sepatutnya bertaubat dari kesesatan!” katanya dengan suara yang meninggi
“Kau yang harus bertaubat!” balasku ikut meninggi juga
Tidaklah seseorang akan mendapatkan sebuah penghormatan jika dirinya tidak memberikan rasa hormatnya kepada orang lain. Hal tersebut yang sedang ku coba ajarkan kepada guruku itu. Dia tidak bisa terus menghinaku dengan perkataan kotor seperti itu. Setiap orang boleh memiliki cita-citanya sendiri.
Namun pelajaran yang sedang kuberikan sepertinya tidak masuk dalam otaknya yang sudah tumpul itu. Dia malah terus mencaciku dengan mulut comberannya.
“Kau memang tau apa tentang agama?” Nada sombong itu menari-nari di telingaku, aku sangat benci dengan getaran busuk yang masuk ke telingaku seperti itu.
“Kau memang tau apa tentang agama?”
Pertanyaanku yang mengulangi pertanyaannya malah dibalas dengan sebuah hadiah telapak tangan yang mendarat di pipi kananku. Suaranya begitu nyaring dan pipiku terasa begitu perih. Aku ingin sekali membalasnya, namun tidak mungkin seorang yang bercita-cita menjadi Nabi berani memukul seorang yang memberikan ilmu.
“Kau memang tau apa tentang agama?” tanyaku untuk kedua kali dan guruku itu rasanya sudah sampai di puncak geramnya.
“Aku Guru Agama. Aku paham menyoal agama.” Pernyataan itu begitu percaya diri dan tumbuh dari kesombongan yang selama ini di tutupinya.
“Lalu bagaimana kau bisa kau melakukan perbuatan munkar sedangkan Allah mengajarkan untuk berbuat Ma’ruf?”
“Orang sesat sepertimu tidak masalah jika harus diperlakukan seperti itu,” jawabnya
“Dimana letak sesatku wahai guruku yang berpengetahuan luas?” Sarkasme, tentu saja hal tersebut kadang harus ku gunakan.
“Kau sesat. Berkeinginan menjadi Nabi, padahal Allah SWT sudah menjadikan Muhammad SAW sebagai Nabi terakhir. Apa kau tau itu?” intonasinya masih tetap meninggi
“Lalu dimana letak salahku?”
“Jelas, kau tidak bisa menjadi Nabi bodoh!”
“Memang tidak bisa, lalu apa masalahnya? Ini keinginanku. Aku hanya ingin menjadi Nabi,” kataku. “Aku hanya ingin menjadi muslim yang sesungguhnya,” tambahku seperti sebuah badai yang menyapu keangkuhan dari wajahnya yang saat itu layu.
Ku pikir guruku haruslah lebih bijaksana dalam memahami sebuah pemikiran. Sebab di dalamnya hanya ada sesuatu bersifat abstrak yang hanya si pemikir dan Tuhan yang mengetahui. Hanya kehancuran yang didapatkan jika merasa menjadi pemegang kebenaran.
Keinginanku hanyalah menjadi Nabi. Mengikuti setiap langkah yang terus menuntun diriku kepada Esa. Menjadi Islam yang humanis, dengan memanusiakan manusia. Bukan seorang yang egois melainkan kesatria yang mampu meluruhkan ke-aku-annya. Menebar kebenaran lewat cinta bukan dengan angkara. Oleh karenanya aku ingin menjadi Nabi.