Kamis, 27 April 2017

Bosan

Bosan. Layar televisi ataupun smartphone sama saja. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta merupa sajian utama semua media Nasioal maupun Indipendent. Tak hanya itu, story instagram dan akun media sosial pun sama. Berbagai macam jari dan bekas tinta menjadi tren. Ditambah lagi dengan caption kebangsaannya. Caper. Cerita tak habis sampai situ, pasangan nomor urut 3 memenangi hasil quick count. Lalu berbagai tulisan mulai muncul satu persatu, mulai dari kalimat takbir hingga kalimat kecewa atas hasil pemilihan. Dunia selalu saja berselisih. Basi.
Ditengah kebosanan gue menjadikan diri sebagai penonton. Kali ini gue mau apatis dengan Negeri ini. Kali ini gue ngga kenal dengan moto “satu suara menentukan Jakarta.” Semua fana, tidak kah semua hanya karangan belaka yang membuat rakyat menjadi kerdil dan bodoh? Kita berseteru dengan semua yang di jejalkan media. bersungut memberi penilaian bahwa yang baik ialah dia dan dialah yang munafik. Berdebat kalau pilihan kamu itu salah, seharusnya pilih ini. Mencoba mengambil hati warga dengan agama. Melakukan intervensi tentang pemahaman jangan mau dibodohi ajaran agama. Semua begitu menjijikan. Sesuatu yang pasti ialah: GUE MENDING GOLPUT, BODO. Siapa yang akan kau percaya? Penista agamamu atau penjual agamamu? Bukankah keduanya melakukan demi kekuasaan? Jika mereka mengatakan untuk rakyat, seluruh orang yang berada di partai politiknya juga masyarakat. Imigran-imigran pun juga disebut rakyat.
Tulisan ini membosankan, gue sangat setuju. Gue mikirinnya saat bosan, sambil marah sekaligus tiduran. Sangat menjengkelkan mengetahui Negara diisi oleh orang munafik. Media nasional sudah memenuhi kepentingan penguasa. Media independent hanya mengatakan apa yang mereka lihat. Bukankah mata selalu tertipu? Sekarang lihat si Anu yang menang, mana lagi yang berkoar untuk meminta penista agama di tangkap? Saya sangat menunggunya. Terlepas dari politik dan pembangunan yang entah buat siapa, saya tidak menyukainya karena menista agama saya. Ini subjektif. Tapi jangan khawatir, saya juga tak suka yang satu lagi, karena seperti alasan tadi. Saya tak suka agama saya dijual demi kepentingan. Kembali ke topik, kini yang terjadi ketika sesuatu terjadi, lalu sebuah masalah selesai. Permainan politik, pengalihan isu dan sebagainya. Seharusnya masyarakat sudah cukup cerdas untuk mengamati itu semua. Si Anu menang? Siapa yang memenangkan? Rakyatkah? Atau sekarang sudah ada perjanjian politik? Jika boleh su’suzon “lo boleh menang, tapi kasus gue selesai, terus proyek gue tetep jalan.” Jika dulu pemimpin ditetapkan dari darah biru, era demokrasi sekarang pemimpin ditetapkan dari darah tajir.

Gue ngga punya saran untuk masalah ini, tapi sesungguhnya sesuatu yang diharapkan dari tulisan ini hanya “jangan mau di begoin.” Jangan mau terpecah karena ketika pecah otomatis kita kalah. Jangan biarin masalah baru bikin masalah sebelumnya lepas. Mungkin tulisan ini memang ngebosenin banget, tapi gue berharap lebih dengan pembaca. Mungkin ngga sebagus tulisan para novelis atau para sastrawan. Tetapi untuk satu hal yang pasti, kita bisa mengerti dengan memahami, kita bisa memahami dengan mengamati. Kita yang mengawal Indonesia. Jangan berhenti disini. Kita terus maju, kuat dan melawan mereka. Ini bukan makar, ini adalah pengawalan. Kita bisa menaikkan, kitapun dapat menjatuhkan.