Bosan. Layar
televisi ataupun smartphone sama saja. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta merupa
sajian utama semua media Nasioal maupun Indipendent. Tak hanya itu,
story instagram dan akun media sosial pun sama. Berbagai macam jari dan bekas
tinta menjadi tren. Ditambah lagi dengan caption kebangsaannya. Caper. Cerita
tak habis sampai situ, pasangan nomor urut 3 memenangi hasil quick count. Lalu
berbagai tulisan mulai muncul satu persatu, mulai dari kalimat takbir hingga
kalimat kecewa atas hasil pemilihan. Dunia selalu saja berselisih. Basi.
Ditengah
kebosanan gue menjadikan diri sebagai penonton. Kali ini gue mau apatis dengan
Negeri ini. Kali ini gue ngga kenal dengan moto “satu suara menentukan
Jakarta.” Semua fana, tidak kah semua hanya karangan belaka yang membuat rakyat
menjadi kerdil dan bodoh? Kita berseteru dengan semua yang di jejalkan media.
bersungut memberi penilaian bahwa yang baik ialah dia dan dialah yang munafik.
Berdebat kalau pilihan kamu itu salah, seharusnya pilih ini. Mencoba mengambil
hati warga dengan agama. Melakukan intervensi tentang pemahaman jangan mau
dibodohi ajaran agama. Semua begitu menjijikan. Sesuatu yang pasti ialah: GUE
MENDING GOLPUT, BODO. Siapa yang akan kau percaya? Penista agamamu atau penjual
agamamu? Bukankah keduanya melakukan demi kekuasaan? Jika mereka mengatakan
untuk rakyat, seluruh orang yang berada di partai politiknya juga masyarakat.
Imigran-imigran pun juga disebut rakyat.
Tulisan ini
membosankan, gue sangat setuju. Gue mikirinnya saat bosan, sambil marah sekaligus
tiduran. Sangat menjengkelkan mengetahui Negara diisi oleh orang munafik. Media
nasional sudah memenuhi kepentingan penguasa. Media independent hanya
mengatakan apa yang mereka lihat. Bukankah mata selalu tertipu? Sekarang lihat
si Anu yang menang, mana lagi yang berkoar untuk meminta penista agama di
tangkap? Saya sangat menunggunya. Terlepas dari politik dan pembangunan yang
entah buat siapa, saya tidak menyukainya karena menista agama saya. Ini
subjektif. Tapi jangan khawatir, saya juga tak suka yang satu lagi, karena
seperti alasan tadi. Saya tak suka agama saya dijual demi kepentingan. Kembali
ke topik, kini yang terjadi ketika sesuatu terjadi, lalu sebuah masalah
selesai. Permainan politik, pengalihan isu dan sebagainya. Seharusnya
masyarakat sudah cukup cerdas untuk mengamati itu semua. Si Anu menang? Siapa
yang memenangkan? Rakyatkah? Atau sekarang sudah ada perjanjian politik? Jika
boleh su’suzon “lo boleh menang, tapi kasus gue selesai, terus proyek gue tetep
jalan.” Jika dulu pemimpin ditetapkan dari darah biru, era demokrasi sekarang
pemimpin ditetapkan dari darah tajir.
Gue ngga punya
saran untuk masalah ini, tapi sesungguhnya sesuatu yang diharapkan dari tulisan
ini hanya “jangan mau di begoin.” Jangan mau terpecah karena ketika pecah otomatis
kita kalah. Jangan biarin masalah baru bikin masalah sebelumnya lepas. Mungkin
tulisan ini memang ngebosenin banget, tapi gue berharap lebih dengan pembaca.
Mungkin ngga sebagus tulisan para novelis atau para sastrawan. Tetapi untuk
satu hal yang pasti, kita bisa mengerti dengan memahami, kita bisa memahami
dengan mengamati. Kita yang mengawal Indonesia. Jangan berhenti disini. Kita
terus maju, kuat dan melawan mereka. Ini bukan makar, ini adalah pengawalan.
Kita bisa menaikkan, kitapun dapat menjatuhkan.